Thursday, November 30, 2006

Mangkuk Yang Cantik, Madu dan Sehelai Rambut



Rasulullah SAW, dengan sahabat-sahabatnya Abakar ra., Umar ra., Utsman ra., dan ‘Ali ra., bertamu ke rumah Ali ra. Di rumah Ali ra. istrinya Sayidatina Fathimah rha. putri Rasulullah SAW menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut).

Abubakar ra. berkata, “Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut”.

Umar ra. berkata, “Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Utsman ra. berkata, “Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber’amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

‘Ali ra. berkata, “Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Fatimah rha. berkata, “Seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Rasulullah SAW berkata, “Seorang yang mendapat taufiq untuk ber’amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber’amal dengan ‘amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat ‘amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Malaikat Jibril AS berkata, “Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Allah SWT berfirman, “Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.
[Sahabat Nabi, Last Revised : Ahad, 7 Maret 2005]

http://www.geocities.com/ahmad_dir/tarbiyah/mmr.html

Tuesday, November 28, 2006

Berbagai versi Al-Quran ?

Quran dituduh memiliki berbagai macam Versi ?

The History of The Qur'anic Text

Download ulasan lengkap sejarah penulisan Al-Quran : DOWNLOAD

Seperti dikatakan sebelumnya, Arthur Jeffery telah meneliti 170 jilid buku dalam mengumpulkan daftar ragam bacaan yang menghabiskan sebanyak sekitar 300 halaman dalam bentuk cetakan, memuat apa yang disebut mushaf milik sekitar tiga puluh orang ilmuwan. Dari jumlah ini ia mencadangkan 88 halaman guna mengupas ragam bacaan yang, menurutnya, bermula dari Mushaf Ibn Mas'ud, sedang 65 halaman yang lain dari Mushaf Ubayy. Sedang selebihnya (140 halaman) khusus membahas dua puluh delapan ilmuwan yang lain. Adanya ragam bacaan dengan urutan tinggi yang ditudingkan terhadap Ibn Mas'ud secara tidak wajar, membuat Mushaf itu menarik untuk diteliti dengan lebih mendalam; beberapa anggapan Jeffery mengenai mushaf itu sebagai berikut.

* Berbeda dengan Mushaf Uthmani dari sisi susunan surah,
* Mengalami perbedaan teks,
* Dan tidak memasukkan tiga surah.

la melempar semua tuduhan walau tak ada seorang manusia, termasuk sumber-sumbernya, yang pernah menyaksikan "Mushaf' tersebut dengan semua ragam bacaan yang la katakan. Pada hakikatnya, tidak satu pun referensi yang dipakai menyebut keberadaan "Mushaf Ibn Mas'ud"; sebaliknya mereka menggunakan perkataan qara'a (membaca), dalam konteks bacaan "Ibn Mas'ud terhadap ayat tertentu". Jika kita lihat secara sepintas terhadap sumber itu, maka akan dapat memunculkan dua bantahan secara spontan. Pertama, karena mereka tidak pernah menyatakan bahwa Ibn Mas'ud membaca dari naskah tertulis, maka kita dengan mudah menganggap bahwa ia membaca melalui hafalannya, dan bagaimana mungkin dapat kita menyimpulkan bahwa bacaan yang salah itu bukan disebabkan oleh ingatan yang meleset? Kedua, (hal ini pernah saya sampaikan sebelumnya), kebanyakan referensi Jeffery sama sekali tidak memiliki isnad yang menyulitkan untuk dapat diterima karena sumber itu tidak menawarkan sesuatu kecuali fitnah.

Membandingkan sebuah Mushaf yang dikaitkan dengan ilmuwan tertentu dengan Mushaf `Uthmani akan tak membawa faedah, kecuali dapat me­nunjukkan bahwa keduanya memiliki status yang sama, membuktikan kebenaran yang pertama dengan keyakinan yang kita miliki. lsi kandungan se­buah Mushaf, sama seperti hadith atau qira'at, yang hanya dapat diriwayatkan melalui cara yang ditentukan oleh para ilmuwan:

1.Sahih dengan keyakinan Sepenuhnya, atau
2.Meragukan, atau
3.Sama sekali palsu (baik karena kesalahan disengaja ataupun tidak di sengaja).

Katakanlah kebanyakan para murid Ibn Mas'ud (seperli al-Aswad, Masruy, ash-Shaibani, Abti Wa'il, al-Hamadani, 'Alqamah, Zirr, dan lainnya) melaporkan satu pemyataan secara sepakat, maka jika dikaitkan dengan Ibn Mas'ud akan dianggap sah dan diterima. Jika sebagian besar dapat menyepakati, sementara satu atau dua orang murid yang terkenal meriwayatkan sesuatu yang berlainan, maka anggapan yang minoritas ini disebut "meragukan". Jika yang minoritas terdiri dari para murid yang bernilai pas-pasan serta tak dikenal, tetapi pernyataan mereka menyalahi kesepakatan para murid yang ngetop, maka akan dimasukkan ke dalam kelompok ke tiga yang benar-benar palsu.

Guna menyatukan manuskrip, "kesamaan status" menjadi konsep yang sangat penting. Jika kita temukan dokumen tulisan tangan pengarang pertama, kedudukannya secara ilmiah dari naskah salinan yang dimiliki oleh para murid yang terkenal (apa lagi murid bayangan) akan secara otomatis hilang nilainya. Melakukan sebaliknya, atau menyamakan yang asli dengan duplikat dianggap sangat tidak ilmiah.1 Dengan memahami masalah ini, marilah kita hadapi tuduhan-tuduhan Jeffery.

1. Susunan Mushaf Ibn Mas'ud

Tak ada satu dari mereka yang hidup sezaman dengan Ibn Mas'ud menyebut Mushaf yang dimilikinya memuat susunan surah yang berlainan, isu itu muncul ke permukaan setelah beliau wafat. An-Nadim mengutip al-Fadl bin Shadhan, "Saya melihat susunan surah dalam Mushaf Ibn Mas'ud sebagai berikut: al-Baqarah, an-Nisa', `Ali `Imran...[yaitu, tanpa al-Fatihah]."2 Seterusnya melalui komentar, an-Nadim menyebut bahwa secara pribadi, ia pemah melihat berbagai Mushaf yang dikaitkan kepada Ibn Mas'ud, akan tetapi ia tidak pemah melihat dua naskah yang mirip satu sama lain, ditambah lagi ia juga menemukan satu naskah di abad kedua Hijrah yang memuat surah al-Fatihah. Karena al-Fadl bin Shadhan terhitung memiliki wewenang keilmuan yang cukup terpandang dalam bidang ini, an-Nadim memutuskan lebih baik mengutip daripada mengutamakan observasi sendiri.3Komentar an-Nadim membuktikan bahwa mereka yang menganggap adanya kelainan pada Mushaf Ibn Mas'ud tidak dnp;u menyatakan secara pasti susunan surah yang sebenarnya, walau pada tahapan keyakinan yang paling minim.

Terdapat jumlah signifikan dari murid-murid yang terkenal yang belajar Shari'ah (hukum Islam dan fiqih) di bawah bimbingan Ibn Mas'ud dan meriwayatkan AI-Qur'an darinya. Mengenai Mushafnya, kita menemukan dua riwayat silang: yang pertama menyebutkan bahwa susunan surah berlainan dengan yang kita miliki, sementara yang lain mengatakan sama. Yang pertama gagal mencapai kesepakatan mengenai urutan surah, dan ternyata riwayat ke dua jauh lebih meyakinkan. Tentunya versi yang lebih konkret akan lebih menarik perhatian kita. AI-Qur'an memperjelas apa yang pernah ia lihat tentang Mushaf Ibn Mas'ud, Ubayy, dan Zaid bin Thabit, dan melihatnya tidak terdapat perbedaan.4

Melalui kesepakatan para qari profesional, mereka mengikuti nada bacaan salah satu dari tujuh qari yang memiliki urutan teratas: misalnya `Uthman, 'All, Zaid bin Thabit, Ubayy, Abu Musa al-Ash'ari, Abu ad-Darda', dan Ibn Mas'ud. Jaringan mata rantai riwayat bacaan mereka langsung sampai pada Nabi Muhammad , dan susunan surah pada tiap-tiap bacaan persis sama dengan AI-Qur'an yang ada sekarang. Kita juga mesti ingat, kalaupun kita memberi penilaian pada riwayat yang sumbang, perbedaan susunan surah tidak akan berpengaruh pada isi kandungan AI-Qur'an .5

Karena setelah menghafal sebagian besar dari AI-Qur'an secara langsung dari Nabi Muhammad, Ibn Mas'ud ternyata sangat kritis dan bahkan pernah berang saat tidak diikutsertakan dalam kepanitiaan penyiapan Mushaf 'Uthmani, dengan melempar kecaman pedas yang membuat para Sahabat merasa gerah. Kemudian saat kemarahan mereda, bisa jadi juga ia telah menyatakan penyesalan atas komentarnya yang tergesa-gesa, dan lalu menyusun surah-surah dalam Mushaf pribadinya mengikuti urutan Mushaf 'Uthmani. Barangkali inilah pemicu munculnya dua riwayat yang berseberangan, urutannya sama, namun berbeda dengan milik `Uthman, kendati yang tahu persis penyebabnya hanya Allah swt.. Penyimpangan yang mungkin terjadi pada kebanyakan "Mushaf Ibn Mas'ud" yang muncul setelah wafatnya, di mana satu sama lain tidak sama, menunjukkan bahwa seluruh Mushaf yang dikaitkan kepadanya dianggap satu kekeliruan, dan para ilmuwan yang melakukan hal itu tampaknya juga lalai dalam meneliti sumber-sumber yang ada. Sayangnya, para penjual barang-barang kuno itu, lebih suka melihat dari sisi keuntungan, gara-gara mementingkan kepingan fulus perak, berani membuat taruhan menamhah Mushaf palsu Ibn Mas'ud atau Ubayy ke atas barang dagangan mereka.6

2. Teks yang Berbeda dengan Mushaf Kita

Di atas, tadi sudah saya sebut perlunya kepastian tentang Mushaf Ibn Mas'ud. Ketika meneliti berbagai ragam bacaan, Abu Hayyan an-Nahawi menemukan kebaayakan riwayat dikaitkan dengan Ibn Mas'ud, mengambil sumber dari kelompok Syiah. Sementara para ilmuwan Sunni di sisi lain menyatakan bahwa bacaan Ibn Mas'ud senada dengan bacaan seluruh umat Islam.7Oleh karena itu, pengaruh dari sumber itu tidak dapat mengubah keyakinan dan pengetahuan kita. Pada halaman 57-73 Kitab al-Masahif (yang disunting oleh Jeffery), dalam bab "Mushaf `Abdullah bin Mas'ud," kita mendapat koleksi ragam bacaan yang panjang itu, semuanya bersumber dari al­A'mash (w. 148 H.). AI-A'mash bukan saja tidak memberi referensi untuk hal itu - dan yang lebih mengejutkan, kesukaannya melakukan tadlis (menggelapkan sumber infotmasi) - ia juga dianggap memiliki kecenderungan terhadap Syiah.8 Banyak contoh yang dapat menguatkan kesimpulan Abu Hayyan mengenai hubungan Syiah itu. Dalam bukunya, Jeffery mengaitkan bacaan berikut terhadap Ubayy dan Ibn Mas`ud (walaupun tanpa referensi):9


"Dan mereka yang paling dulu percaya terhadap Nabi Muhammad, alaihis salam, adalah 'Ali dan keturunannya yang Allah telah pilih dari kalangan para Sahabat dan dijadikannya mereka sebagai pemimpin atas yang lain. Mereka itulah orang-orang yang menang dan yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal selama-lamanya."

Sementara yang disebut dalam AI-Qur'an
('Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu [masuk surga]. Mereka itulah orang yang didekatkan [kepada Allah.])10 Penghormatan yang berlebihan pada keturunan 'Ali, tanpa diragukan, menyimpan perasaan membela Syiah.11

Melibatkan diri dalam penelitian, memerlukan dasar pijakan yang kuat. Namun dalam hal ini, kita menemukan mereka tenggelam dalam arus kabar angin yang hampir sama sekali tidak punya jaringan mata rantai transmisi, dan gagal dalam menyajikan pendapat logis mengenai apa yang dikatakan sebagai 'Mushhaf Ibn Mas'ud' itu. Dalam keadaan seperti ini, pendekatan dan penemuan Jeffery, seperti yang dapat kita lihat, pada intinya sangat naif.

3. Tiga Surah yang Dihilangkan

Surah pertama dan dua surah yang terakhir (Surah al-Fatihah, al-Falaq dan an-Nas), menurut beberapa riwayat, tidak terdapat dalam Mushaf Ibn Mas'ud.12 Tampaknya seluruh masalah yang ada sangat meragukan. Jeffery mengawali tulisannya dengan melempar tudingan ragam bacaan dari Surah al­Fatihah: arshidna dan bukan ihdina, dan juga man, bukan alladhina.13 Di mana dia berkilah bahwa surah ini tidak pemah ada, jadi dari mana dia mendapat ragam bacaan ini? Para pembaca tentu masih ingat komentar an-Nadim sebelum ini bahwa ia pernah menemukan sebuah Mushaf yang dikaitkan dengan Ibn Mas' ud yang memuat surah al-Fatihah. Ingat bahwa surah al-Fatihah itu tak perlu dipertanyakan lagi, merupakan surah yang paling sering dibaca dalam AI­Qur' an, dan juga bagian yang tidak terpisahkan dari setiap rakaat dalam shalat. Dalam shalat berjamaah, surah itu menggema dari tiap menara masjid sebanyak enam kali dalam sehari, dan delapan kali pada tiap hari Jumat. Oleh sebab itu, tudingan adanya ragam bacaan al-Fatihah tidak perlu dianggap serius, dan secara logika bacaan surah ini diperdengarkan pada telinga setiap Muslim bermula sejak zaman Nabi Muhammad . 14

Seorang yang cenderung ingin menyalin beberapa surah Tertentu, kurang begitu suka dengan yang lain, ia behas melakukannya, bahkan membual tambahan pada sisi halaman juga dibenarkan selama hal itu dipisahkan dari Kitab Suci. Kejadian seperti itu tidak bisa dipakai untuk berkilah menentang keutuhan AI-Qur'an. Mushaf' Uthmani yang memuat Kalam Allah yang tidak pernah temodai dan dibagi ke dalam 114 surah, sudah jadi kepercayaan yang tak mungkin terusik bagi kaum Muslimin; siapa yang mengelak menerima pandangan ini, ia akan jadi buangan. Kalaulah Ibn Mas'ud menolak tiga surah ini, maka nasibnya juga sama.

Al-Baqillani sampai pada argumentasi yang menyeluruh dan meyakinkan dalam menafikan laporan miring seperti tersebut di alas. la menyatakan bahwa siapa yang menolak surah tertentu yang merupakan bagian dari Al-Qur an, maka ia dianggap murtad atau fasik. Jadi salah satu sifat ini akan terkena pada Ibn Mas'ud kalau riwayat itu benar adanya. Dalam banyak hadith, Nabi Muhammad memuji kesalehannya dan tidak mungkin berbuat macam­ macam. Orang-orang yang hidup sezaman dengan Ibn Mas'ud juga ber­kewajiban, kalau mereka melihat sesuatu yang mencemarkan kepercayaannya, mengungkapkannya sebagai penyeleweng atau murtad, jika tidak, berarti mereka mencemarkan din sendiri Namun kenyataannya, mereka yang hidup sezaman dengannya sepakat dalam memuji keilmuan yang dimiliki tanpa satu orang pun yang berseberangan. Dalam pandangan al-Baqillani, keadaan itu hanya mempunyai dua implikasi: kemungkinan Ibn Mas'ud tidak pernah menolak status sebenarnya mengenai surah itu, atau para ilmuwan yang mengenalnya kurang tepat dalam menghadapi fitnah yang semestinya perlu diganyang ketika itu.15

i. Analisis Isi Kandungan Mushaf Ibn Mas'ud

Asal usul munculnya penghapusan surah-surah ini, urutannya dapat dibuat sebagai berikut; dalam hal ini jaringan mata rantai transmisi mendahului setiap riwayat.

*'Asim-Zirr (salah seorang murid Ibn Mas'ud)-Ibn Mas'ud: riwayat mem­buat tudingan bahwa ia tidak menuliskan dua surah (no. 113 dan 114) dalam Mushafnya.16
* AI-A'mash-Abu Islury-'Ahdur-Rahman bin Yazid: Ibn Mas'ud mcng­hapus suruh Mu'awwidluuain (surah 113 and 114) dari Must afnya dan mcngatakan bahwa keduanya bukan bagian dart Al-Qur'an .17
* Ibn 'Uyaynah-`Abdah dan `Asim-Zirr: "Saya berkata pada Ubayy, 'Saudaramu menghapus surah 113 dan 114 dari Mushafnya', yang mana ia tidak menolaknya. Ketika ditanya apakah yang dimaksudkan itu adalah Ibn Mas'ud, Ibn `Uyaynah menjawab dengan nada pasti dan menambah bahwa kedua surah itu tidak ada dalam Mushafnya karena ia menganggap sebagai doa perlindungan Ilahi yang digunakan oleh Nabi Muhammad untuk cucunya al-Hasan dan al-Husain. Ibn Mas'ud tetap tidak mengubah pendiriannya, sementara yang lain yakin dan memasukkannya ke dalam AI-Qur'an.18

Jadi, dalam riwayat kedua dan ketiga, Ibn Mas'ud menghapus surah­surah yang sempat masuk dalam Mushafnya, jika demikian mengapa dia menulisnya saat pertama kali? Hal ini tentu tidak masuk akal. Kalau dikatakan Mushaf itu telah ditulis dan memuat dua surah terakhir, sudah tentu keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dari Mushaf yang beredar pada saat itu. Kalau terdapat keraguan, maka menjadi kewajiban Ibn Mas'ud memastikan masalah yang ada dengan para ilmuwan lain sewaktu di Madinah maupun tempat lain. Dalam satu fatwanya, ia pemah menyatakan bahwa lelaki yang mengawini wanita lalu menceraikan sebelum jima', maka ia boleh mengawini ibu wanita itu. Ketika in berkunjung ke Madinah dan membahas isu itu selanjutnya, ia mengakui telah bersalah clan kemudian membatalkan fatwanya. Misi pertama saat kembali ke Kufah adalah menemui orang yang pernah minta fatwa dan mengatakan bahwa hal itu tidak benar. Demikianlah sikapnya dalam bidang ilmiah, maka lebih-lebih lagi dalam isu yang jauh lebih penting mengenai AI-Qur'an. Semua bukti yang lebih masuk akal menunjukkan semua cerita yang tidak wajar mengenai dirinya adalah palsu, dan para ilmuwan zaman dulu seperti an-Nawawi dan Ibn Hazm menyatakan bahwa yang ditimpakan pada Ibn Mas'ud itu bohong.19

Ibn Hajar, salah satu muhaddithun terkemuka, menolak kesimpulan itu. Selagi Ibn Hanbal, Bazzar, at-Tabarani dan lainnya mengutip kejadian itu melalui jaringan mata rantai riwayat yang sahih, maka ia memberi alasan bahwa tudingam itu tidak dapat dinafikan sesederhana itu; melakukan hal itu berarti menafikan hadith sahih tanpa dukungan sewajarnya. Ibn Hajar berusaha membuat kompromi pada kedua riwayat yang berseberangan dengan berpijak pada penafsiran Ibn as-Sabbagh: dalam ulasan pertama Ibn Mas'ud tetap enggan mengakui kedudukan keduanya sebagai surah AI-Qur' an, tetapi setelah diketahui tidak dipersoalkan oleh umat dan merupakan bagian dari AI-Qur'an, sikap keraguannya semakin mencair dan akhimya percaya seperti yang lain.20

Argumentasi di atas merupakan yang terkuat yang saya pernah lihat dalam memberi dukungan terhadap tudingan itu. Untuk mengupas persoalan lebih lanjut, saya akan berpijak pada metode muhaddithun lain guna menyingkap kekeliruan pendirian Ibn Hajar itu.

ii. Keyakinan Ibn Mas'ud

Telah saya tegaskan sebelumnya bahwa al-Fatihah, tujuh ayat yang paling sering dibaca di masjid dan rumah-rumah semenjak zaman Nabi Muhammad secara logika tak mungkin ditolak oleh Ibn Mas'ud. Per­soalannya, menyangkut surah 113 dan I l4. Dalam jaringan cerita ke tiga, kita temukan bahwa Ubayy tidak menolak Ibn Mas'ud, dengan mendengar bahwa ia telah menghapus surah pungkasan itu, ia tidak bermaksud menolak. Apa artinya? Itu berarti ia setuju, ataupun tidak setuju tapi bertahan setelah melihat ada perbedaan. Karena kita tahu Mushaf Ubayy memuat kedua stirah tersebut, maka kita tidak bisa menerima persetujuannya. Begitu juga kita mesti menolak ketidaksetujuannya karena sikap tidak peduli sama dengan mengatakan bahwa masyarakat bebas memilih bagian AI-Qur'an apa saja yang mungkin dianggap menarik. Dalam hal ini, tidak seorang pun dapat mendominasi sikap yang demikian dan masih tetap dianggap sebagai Muslim. Oleh sebab itu, riwayat mengenai diamnya Ubayy merupakan kepalsuan yang nyata.21

Sekarang kita hendak melihat penyesuaian yang dilakukan oleh ibn as­Sabbagh. Banyak dari kalangan para Sahabat seperti Fatimah, A'ishah, Abu Harairah, Ibn `Abbas dan Ibn Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad selalu membaca AI-Qur'an dengan Malaikat Jibril tiap Ramadhan satu kali dalam setahun, dan dua kali dalam tahun sebelum beliau wafat. Bahkan dalam tahun terakhir, Ibn Mas'ud juga ikut serta. Dia juga membaca Kitab itu dua kali bersama Nabi Muhammad yang kemudian memujinya dengan ucapan laqad ahsanta (bacaan Anda hagus). berdasarkan kejadian itu pula Ibn 'Abbas menganggap bacaan Ibn Mas'ud sebagai yang jelas dan tepat.22 Pujian tersebut mcnunjukkan bahwa AI-Qur'an terekam dalam ingatan yang penuh kepastian; murid-muridnya yang cemerlang, seperti `Alqamah, al-Aswad, Masruq, as­Sulami, Abu Wa'il, ash-Shaibani, al-Hamadani, dan Zirr, semuanya meriwayatkan AI-Qur'an yang mereka terima dari padanya berjumlah sebanyak 114 surah. Hanya salah satu murid Zirr, `Asim, satu-satunya yang memberi pernyataan konyol kendati ia mengajarkan seluruh isi kandungan Kitab Suci atas wewenang Ibn Mas'ud.23

Salah satu karya Ibn Hajar, yaitu sebuah risalah ringkas mengenai hadith yang berjudul Nuzhat an-Nazar, memberitahukan kita bahwa jika seorang perawi yang tepercaya (katakanlah seorang ilmuwan betahap B) membelakangi pendapat perawi lain yang lebih tinggi kedudukannya (yaitu ilmuwan bertahap A), ataupun bila terdapat ilmuwan lebih banyak (yang sama derajatnya) mendukung satu versi cerita dari yang lain, maka penjelasan yang dikemukakan oleh yang lebih rendah disebut shadh (nyleneh dan loyo). Dalam berita di atas kita dihadapkan pada satu pernyataan laksana seorang atlet renang yang coba-coba hendak melawan arus raksasa, yang menjadikan hal ini dapat dipandang sebagai satu kebatilan.24 Ini tentunya berlandaskan pada metode yang dipakai oleh para muhaddithun, yang walaupun Ibn Hajar mengutip ketentuan-ketentuan itu, namun barangkali saat itu mental beliau dalam keadaan tidak begitu prima atau, dalam hal ini, dimana seorang yang intelijen pun boleh jadi mengalami hal yang sama. Mungkin ada pendapat yang menyebut, guna mengangkat permasalahan shadh dan batil memerlukan dua pernyataan silang, sementara apa yang kita hadapi adalah hanya berkaitan dengan penghapusan surah 113 dan 114, tanpa ada oposisi. Alasannya sederhana, dalam suasana yang normal hanya ketidaknormalan yang biasanya diangkat menjadi bahan cerita. Contohnya, darah yang mengucur keluar dari urat kita berwama merah adalah sesuatu yang biasa, tetapi darah berwarna biru (sejenis kepiting) adalah sesuatu yang luar biasa dan akan mendapat liputan lebih banyak. Hal yang serupa, kita tidak akan mempersoalkan murid-murid Ibn Mas'ud yang gagal memberitahukan kita apakah guru mereka meyakini 114 surah, karena itu sudah jadi masalah yang lumrah. Hanya mereka yang percaya sedikit atau lebih, akan menjadi objek pemberitaan.

Komentar yang saya kemukakan terhadap Mushaf Ibn Mas'ud dapat juga diterapkan pada Ubayy bin Ka'b, atau siapa saja dalam masalah tersebut.

4. Kapan Suatu Tulisan itu Dapat Diterima Sebagai Bagian dari AI-Quran?

Hammad bin Salamah meriwayatkan bahwa Mushaf Ubayy mcmuat dua surah lebih, yang disebut al-Hafad dan al-Khala'.25 Berita ini betul-hetul palsu karena terdapat cacat besar dalam jaringan mata rantai perawinya, karena jarak waktu yang tak terhitung, sekurang-kurangnya, dua atau tiga generasi antara kematian Ubayy (w. sekitar 30 H.) dan kegiatan ilmiah Hammad (w. 167 H.). Selain itu, kita juga mesti ingat bahwa catatan yang dibuat dalam buku tidak menjadi bagian dari buku itu sendiri. Tetapi katakanlah, sekadar untuk adu alasan dalam berdebat, kita menerima bahwa beberapa alinea lebih tertulis dalam Mushaf Ubayy. Adakah alinea langsung dan otomatis meningkat sama kedudukannya dengan AI-Qur'an? Tentu saja tidak. Mushaf 'Uthmani terselesaikan, dan disebarluaskan melalui para guru yang mengajarkannya setelah mendapat wewenang yang sesuai dan jadi ketentuan dalam menetapkan apakah sesuatu teks itu AI-Qur'an, bukan sekadar coret-coretan tak menentu dari manuskrip ilegal.

i. Prinsip Menenukan Ayat sebagai Al-Qur'an

Tiga pedoman yang hendaknya terpenuhi sebelum cara sebuah bacaan suatu ayat dapat diterima sebagai AI-Qur'an:

* Qira'at mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber yang memiliki otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar (yang cukup untuk melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan yang masuk), yang juga sampai kepada Nabi Muhammad yang dapat menjamin keaslian dan kepastian bacaan.
* Teks bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat dalam Mushaf 'Uthmani.
* Cara pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.

Semua karya tulis yang memiliki otoritas dalam bidang qira'at, seperti Kitab as-Sab`af fi al-Qira'at oleh Ibn Mujahid, pada umumnya menyebut adanya pembaca tunggal di setiap pusat kegiatan ilmu Islam yang kemudian diikuti oleh dua atau tiga orang murid. Daftar yang minim seperti itu tampaknya berseberangan dengan prinsip pertama. Bagaimana dapat menjelaskan seorang ahli membaca AI-Qui an (qari) dan dua muridnya dari Basrah misalnya, membuktikan bahwa qira'at itu diriwayatkan melalui jalur riwayat yang besar? Untuk menjelaskan persoalan ini para pembaca hendaknya melihat kembali topik "Ijazah bacaan" pada bab sebelum ini.26 Prof. Robson dan Ishaq Khan, yang menyajikan jalur riwayat Sunan Ibn Majah melalui Ibn Qudamah, hanya bisa mendapatkan beberapa nama saja, sementara dengan melacak ijazah bacaan kami temukan lebih dari 450 murid. Itu pun hanya dari satu manuskrip; naskah-naskah tambahan lain yang juga dari jaringan mata rantai periwayatan yang sama, dapat memberi angka yang lebih besar. Sama halnya dengan menyebut dua atau tiga nama murid adalah semata-mata sebagai yang terwakili dan dimaksudkan untuk menghemat waktu penyusunan dan juga bahan tulisan, dan terserah pada para ilmuwan yang merasa berminat akan hal itu untuk mengupas secara tuntas.

Ada perbedaan mendasar antara AI-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad dalam hal penyampaian riwayat melalui otoritas tunggal. Satu-satunya ilmuwan dan hafal satu hadith bisa jadi, ketika ia mengajar melalui hafalannya, merasa perlu mencari persamaan kata pengganti saat terlupa pada kata-kata yang sebenarnya. Jika tak seorang pun yang meriwayatkan hadith itu, maka ketidak telitiannya akan berlalu secara mudah tanpa terditeksi. Bandingkan hal itu dengan AI-Qur' an. Dalam tiga shalat jamaah, shalat Jumat, Tarawih, Idul Fitri, dan Idul Adha, imam akan membaca dengan suara kuat dan mendapat dukungan dari jamaah di belakangnya. Jika tidak ada anggota jamaah yang menegur, berarti bacaannya mendapat restu orang banyak yang jumlahnya ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu. Tetapi apabila ada teguran ketika shalat, sedangkan imam tetap memaksakan bacaan yang menyalahi Mushaf 'Uthmani, ia akan didongkrak secepatnya sebagai imam shalat. Tak akan mungkin terdapat kekeliruan dalam qira'at yang dapat lewat begitu saja, dan semua yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan akan segera disingkirkan. Batas-batas yang ditetapkan dengan jelas seperti ini yang merupa­kan sumber penyelamat utama Al-Qui an .27

Mari kita periksa setiap naskah yang dikaitkan dengan AI-Qur'an dengan berpijak pada prinsip-prinsip di atas. Tampak jelas prinsip yang pertama itu tidak ada, karena naskah [dua surah Ubayy itu] tidak memberi penjelasan tenlang yang meriwayatkan. Mengenai syarat kedua; apakah hal ini sejalan dengan Mushaf 'Uthman? Adanya ketidakserasian sekecil apa pun dalam masalah kerangka huruf hidup, dapat menyebabkan runtuhnya nilai kepercayaan. la mungkin bisa dipakai untuk yang lain, kecuali untuk menjadi bagian dari AI-Qur'an. ltu merupakan kesepakatan kaum Muslimin semenjak empat belas abad yang lalu.

Berbicara mengenai kerangka huruf mati, perlu kita sebut di sini masalah huruf hidup (contohnya alif jika terletak di tengah sebuah kata) biasanya menampilkan ortografi yang agak lain, biasanya tergantung pada pertimbangan penulis. Lihat contoh him. 131-5 dan juga penerbitan faksimile dalam bahasa Prancis baru-baru ini mengenai kepingan naskah Al-Qui an.28 Dalam contoh yang kedua kita menemukan kata qalu (dengan alif di tengah) ditulis dengan qalu (tanpa alif di tengah). Berdasarkan ketentuan ini, maka hat yang sama dapat terjadi pada kepingan naskah AI-Qui an yang ditemukan di Yaman. Perbedaan pada tahapan ini tidak akan membuat kita keblinger, kita mesti memperlakukan masalah ini persis sama seperti kata color vs. colour atau center vs. centre dalam bahasa Inggris, karena kelainan ortografi laiknya kesatuan halus yang selalu muncul dalam bahasa manapun .29 Namun apabila sekeping tulisan itu jatuh ke tangan mereka yang selalu ingin tahu, meski dibenarkan adanya perbedaan ortografi, tetapi tidak sesuai dengan kerangka AI-Qur'an `Uthmani, kita mesti singkirkan jauh-jauh ke luar dan menganggapnya sebagai hal yang palsu dan tidak berlaku. Tentunya jika terdapat tanda-tanda huruf mati yang hilang disebabkan kesalahan menulis, maka hal itu akan bisa diterima sebagai bagian dari AI-Qur'an. Contohnya, al-fawahish ditulis al-wahish, di mana penulisnya meninggalkan huruf Fa'.30

ii. Contoh Hukuman bagi Ilmuwan Karena Menyalahi Ketentuan di atas

Ibn Sanbudh (w. 328/939), salah seorang ilmuwan terbesar di bidang qira'at di zamannya, menganggap remeh naskah 'Uthmani dalam membaca AI-Qur'an. Karena bacaan itu terbukti benar melalui jalur transmisi yang berlainan serta sesuai dengan grammar hahasa Arab, ia beranggapan bacaan itu sah walaupun berbeda dengan Mushaf 'Uthmani. Dalam persidangan hukum, ia diminta bertobat dan akhimya dikenakan hukum cambuk sebanyak sepuluh kali.31 An-Nadim mengutip surat pengakuan Ibn Shanbudh sebagai berikut:32


Dalam kalimat di bawah menunjukkan bahwa Ibn Shanbudh mengakui kesalahan melanggar Mushaf yang didukung oleh seluruh umat, dan kemudian mohon ampunan Allah

* Seorang ilmuwan lain, Ibn Miqsam (w. 354/965) juga diminta bertobat di depan para fuqaha' dan qurra' karena teori bacaannya yang berbeda. Teorinya menyebutkan, bacaan siapa saja selama masih sesuai dengan Mushaf `Uthmani dan kaidah bahasa Arab, dapat dianggap sah tanpa perlu menyelidiki asal usul jalur qira'at dan mendapat pengesahan mengenai tanda-tanda bacaan yang berkaitan dengan tiap-tiap ayat.33

Seorang ilmuwan meremehkan prinsip yang kedua, sementara yang lain menganggap rendah ketentuan yang pertama. Rev. Mingana menyatakan penyesalannya bagi yang mau menerima kedua ilmuwan itu.34 Sekurang­kurangnya, kita dapat menganggap suatu yang wajar setelah mengetahui bahwa keduanya diberi perlakuan atas dasar belas kasih ketimbang William Tyndale (1494-1536), gara-gara salah menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Inggris, dihajar hukum bakar hidup-hidup (menurut versi Bible King James).35

5. Kesimpulan

Para ilmuwan Yahudi dan Kristen sejak lama telah menyimpan obsesi ingin melecehkan adanya perbedaan terhadap Al-Qur'an, hanya Allah dengan begitu mudah mengamankan dan memelihara Kitab-Nya sehingga segala upaya dan sumber yang jadi andalan hanya mampu menjadikan mereka kewalahan. Abad ke-20 ini menyaksikan adanya satu Lembaga Kajian AI­Qur'an yang didirikan oleh Universitas Munich. Seluruh ruangan gedung dipenuhi sebanyak empat puluh ribu naskah AI-Qur'an dari berbagai abad dan negara dan kebanyakan dalam bentuk foto asli, sedang para stafnya asyik menyibukkan diri membandingkan kata-kata dari setiap naskah sebagai upaya yang tak kenal lelah dalam menyingkap perbedaan yang terdapat dalam AI­Qur'an.

Beberapa waktu sebelum Perang Dunia II, laporan pendahuluan yang cukup mantap telah diterbitkan yang menyebut bahwa tentunya terdapat kekeliruan dalam menyalin manuskrip Al-Qur'an, kendati tidak terdapat ragam perbedaan. Selama peperangan, Amerika mengebom lembaga tersebut menghancurkan keseluruhan yang ada termasuk direksi, staf, dan semua pakar perpustakaan... Ini semua membuktikan bahwa tidak ada perbedaan pada naskah-naskah AI-Qur'an sejak abad pertama hingga ke abad ini.36

Jeffery mengakui fakta ini kendati secara sinis ia menyesal bahwa "Secara praktis semua Mushaf-Mushaf terdahulu dan kepingan-kepingan naskah yang selama ini diteliti dengan hati-hati membuktikan adanya kesamaan teks, kalau pun terdapat perbedaan, hal itu hampir keseluruhannya dapat diterangkan sebagai kesalahan tulisan."37 Bergtrasser juga memiliki kesimpulan yang sama.38 Namun Jeffery tetap memaksakan pendapat bahwa teks-teks itu "tampaknya belum ditetapkan hingga abad ke-3 Islam"39 [dan karenanya] agak penasaran bahwa tidak terdapat contoh teks lain yang masih bertahan di antara semua kepingan-kepingan itu yang selama ini diteliti."40 Untuk menjawab kebimbangan yang dimiliki, tampaknya ia masih belum dapat melihat hutan rimba dengan aneka ragam pohon dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalamnya. Jelasnya, tidak pernah terdapat teks-teks yang berlainan.

Daripada merengek-rengek kepada komplatan Orientalis yang selalu berubah sikap menurut kepentingannya, kaum Muslimin hendaknya tetap meniti jalan yang dilalui para muhaddithun zaman dulu. Apa sebenamya hasil yang mungkin diraih sekiranya kita hendak menerapkan kriteria terhadap kajian kitab Injil? Coba renungkan contoh berikut ini, sekadar gambaran betapa rapuhnya dasar-dasar teori mereka. Dalam Dictionary of the Bible, dalam artikel yang berjudul "Jesus Christ", kita dapat membaca, "Satu-satunya saksi dalam pemakaman [Kristus] terdapat dua orang wanita..." Kemudian dalam judul lain, "The Resurrection", "Banyak sekali kesulitan yang berkaitan dengan bahasan ini, dan juga berita-beritanya, yang juga tak banyak jumlahnya dan bahkan mengecewakan, serta memuat beberapa perbedaan tertentu yang tak mungkin dicarikan titik temu atau penyelesaian; tetapi para pakar sejarah yang konsisten dengan aturan-aturan yang paling tepat dan merasa terikat oleh disiplin ilmiah, menemukan bukti yang cukup memadai untuk meyakini fakta itu."41

Kita hanya mampu meraba-raba bahwa 'fakta-fakta' dalam posisi lebih tinggi dari yang lain dan tidak perlu lagi mencari-cari bukti. Apa jadinya jika kita hendak menerapkan metode kita sendiri? Apa yang dapat kita sebut mengenai cerita penguburan Yesus Kristus? Pertama, siapakah orang yang mengarang cerita dalam Injil itu? Semuanya tidak ada yang dikenal secara pasti dan cerita itu pun hampa. Kedua, siapa yang membawa pernyataan dua orang wanita itu kepada pengarang? Entahlah. Ketiga, jaringan mata rantai riwayat macam mana yang dapat dipakai sebagai ukuran? Tidak ada. Semua cerita yang adalah hasil rekayasa.

Upaya mencari perbedaan dalam Al-Qur'an terus berjalan tanpa henti, dan bahkan Brill ikut memanasi usaha ini dengan membuat Encyclopedia AI­Qur'an (sebanyak empat jilid) yang akan terbit dalam beberapa tahun mendatang. Di antara badan penasihatnya, selain para ilmuwan Yahudi dan Kristen, tak ada lain adalah M. Arkoun dan Nasr Abu Zaid yang sudah dianggap sebagai penyeleweng (heretics) di negara-negara Islam.

Penilaian telah berulang kali saya buat terhadap kedudukan ilmiah kitab Injil secara sepintas, dan juga semangat yang membara hendak memaksakan AI-Qur'an dengan keraguan dan teka-teki guna menutupi kelemahan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Kini giliran saya mengambil sikap proaktif dalam menyelami sejarah teks kitab suci mereka, bukan sekadar perbandingan. Setiap ilmuwan dan pengkritik merupakan produk lingkungan tertentu, dan para Orientalis - baik yang Kristen, Yahudi, ataupun ateis - semuanya lahir dari latar belakang Yahudi dan Kristen yang ingin memilah-milah pandangan tentang segala masalah yang berkaitan dengan keislaman. Sikap selektifnya memacu mereka mengubah studi Islam pada satu bentuk yang benar-benar aneh dengan mengenalkan peristilahan yang ada dalam Injil. Blachere misalnya, memakai istilah vulgate. Bible versi Latin yang dihasilkan pada abad keempat dan lebih digemari oleh Gereja Katolik Roma (penerjemah). saat menunjuk Mushaf `Uthman dalam bukunya Introduction au Coran, dan Jeffery menerangkan Al-Qur’an sebagai teks yang Masoretic, istilah yang umumnya berkaitan dengan Kitab Perjanjaian Lama berbahasa Ibrani. Dengan menghilangkan seluruh peristilahan AI-Qur'an, Wansbrough malah berbicara mengenai Haggadic exegesis, Halakhic exegesis, dan Deutungsbedurftigkeit.42 Setiap orang dari kalangan mereka juga menyebut canonization Al-Qur'an (dalih-dalih AI-Qur'an) dan naskah kuno Ibn Mas'ud. Kebanyakan kaum Muslimin tak pemah berurusan dengan jargon-jargon aneh itu. Apabila hipotesis Jeffery, Goldziher dan yang lain telah kita bicarakan dan kita nafikkan, maka kini saatnya untuk kita meneliti sepenuhnya motif-motif yang melatarbelakangi usaha mereka. Sketsa potter sejarah awal Yahudi­Kristen, diiringi sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diharap dapat melicinkan jalan pemahaman yang lebih dalam mengenai cara berpikir para ilmuwan dan akhimya akan mengantarkan kita dapat melihat lebih jelas lagi pertimbangan dan sederet tujuan pihak Barat dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur'an.

Friday, November 24, 2006

Kodetifikasi Bilangan Prima

Download ulasan lengkapnya di sini --> DOWNLOAD


Sulit kita mengatakan bahwa al-Qur'an dibuat oleh masyarakat pada abad ke-7, apalagi oleh Muhammad saw, yang tidak dapat membaca dan menulis, bahkan oleh manusia abad kini atau jin sekalipun. Isinya sarat dengan makna. Tiap surat dan ayat ditempatkan dengan "kodetifikasi" tertentu. Strukturnya matematis dan mengikuti kodetifikasi bilangan prima, khususnya bilangan prima kembar. Al-Qur'an berpandangan bahwa tidak ada kejadian atau objek di alam semesta yang terjadi secara "kebetulan", segala "sesuatu berdasarkan hitungan yang teliti", al-'adad. Struktur al-Qur'an meliputi hal yang paling sederhana sampai hal yang rumit. Kita dapat membayangkan, struktur dan makna bagaimana lagi yang ditemukan oleh para pembaca di masa mendatang, misalnya masyarakat abad ke¬25? Hal ini mudah saja, karena kalau kita berbicara 20 atau 30 tahun yang lalu, kita tidak mungkin membahas hubungan Al-Qur'an dengan sejumlah fenomena alam semesta: Metonic cycle, umur alam semesta, multi universes, bilangan prima, atau keajaiban Surat Besi sebagai salah satu unsur kimia dengan isotop stabil Fe-57.

Bilangan prima adalah bilangan yang dipakai sebagai komunikasi universal di alam semesta. Frank Drake telah membuktikannya sejak tahun 1961 dengan kriptogram yang dibentuk dengan bilangan prima 31 dan 41 untuk komunikasi interstellar, dan de-kodetifikasi sinyal-sinyal yang datang dari ETI¬angkasa luar. Demikian juga, bukan suatu kebetulan jika Al-Qur'an terstruktur dengan bilangan prima secara sistematis: bilangan 19, 11, 29, 31, dan 41. Sedangkan shalat dikode-kan dengan bilangan prima 5 dan 17. Bahkan "perjalanan malam Nabi" ditempatkan dalam surat nomor 17, Al-Isra'. Bilangan 7 dikodekan untuk "lapisan langit (hyperspace) dan bumi". "Tempat tertinggi" atau Al-A'raf ditempatkan pada surat nomor 7. Bagian paling menarik adalah bilangan prima kembar, yang mengapit "pola kelipatan 6", hexagonal system-yang ditunjukkan oleh Laba-laba, surat "penengah" pada surat nomor 29 ayat 41, Al-'Ankabut. Walaupun begitu, semuanya meng¬arah pada bilangan 19-sebagaimana al-Qur'an mengindikasikannya pada al-Muddatstsir ayat 30.

Konfirmasi keaslian al-Qur,an ditunjukkan dengan bantuan Hukum Benford, di mana digit ayat-ayatnya yang dipetakan dalam 114 surat, di-enkripsi dengan bilangan 19. Enkripsi juga ditunjukkan dengan pembagian surat yang simetris, antara surat yang homogen dan heterogen-semuanya merujuk kepada jumlah nomor surat (6555) clan jumlah ayat al-Qur'an (6236). Pembagian ke-114 surat al-Qur'an juga unik. Terbagi antara 29 surat yang ditandai dengan ayat-ayat berhuruf fawatih, dan 85 surat sisanya. Dalam 114 surat al-Qur'an hanya-tidak lebih dan kurang-ditemukan 19 surat yang membentuk bilangan prima, nomor surat dan ayatnya. Sedangkan di antara 29 surat fawatih, di-enkripsi dengan 19 surat-huruf fawatih sebagai ayat tersendiri. Dengan demikian, pesan yang dibaca oleh kita berdasarkan struktur tadi-surat, ayat, baik jumlah maupun letak¬nya, tidak dapat dipertukarkan. Bahkan judul surat pun dienkripsi dengan bilangan 19, yang dikodekan pada huruf qaf.

Pada mulanya, Tuhan Pencipta (banyak) alam semesta, memperkenalkan diri-Nya dengan kata Rabbika. Baru pada Surat Al-Ikhlash, wahyu ke-19, diperkenalkan kata Allah. Wahyu pertama adalah 5 ayat pertama Surat Al-'Alaq, terdiri dari 19 kata dan (19 x 4) huruf. Ditutup wahyu terakhir Surat An-Nashr, terdiri dari 19 kata juga, dengan ayat pertama terdiri dari 19 huruf. Tuhan yang mengajarkan, mendidik, dan memelihara manusia, memilih nabi-nabi di seluruh penjuru bumi di segala zaman untuk mendidik dan memberi contoh kepada masing¬masing umat dan kaum supaya beriman, lebih beradab, dan berbuat kebajikan. Dalam upaya komunikasi langsung dan privat, manusia dan jin diwajibkan shalat, dengan enkripsi 5 dan 17. Dalam bahasa kriptogram Frank Drake: ditunjukkan dalam bentuk kode 24434 bits (banyaknya digit rakaat), hasil dari produk (hasil kali) bilangan prima 19 dengan koefisien 1286 atau 1286 garis; dengan tiap garis memuat 19 bits. Angka "1" dan angka "0", atau kode biner. Komunikasi 3 dimensi; 24434 bits merupakan produk 3 bilangan prima, yaitu 19, 2, dan 643.

Bentuk komunikasi seperti ini adalah bentuk komunikasi tertinggi di alam semesta, yang dikodekan dalam bilangan prima kembar sebagai komunikasi dasar. Dengan demikian, kita bisa mencatat bahwa dalam shalat, banyaknya rakaat dan frekuensi pengirimannya tidak dapat dipertukarkan, karena spesifik dienkripsi dengan jumlah dan susunan digitnya.

Kita dapat berpikir bahwa Al-Qur'an bukan saja kitab pedoman bagi umat manusia tetapi juga mukjizat abadi yang nyata diturunkan dari langit. Mahakarya Yang Tertinggi di alam semesta, catatan dan rekaman yang disusun dengan state of the arts, sempurna tiada bandingannya. Kita juga bisa berpikir, apa lagi yang dapat ditemukan oleh para pembaca di abad ke-25, misalnya, masyarakat abad mendatang? Karena ilmu dari Rabbi yang diturunkan melalui Rasul tidak akan habis "dicerna" oleh pengetahuan manusia dan jin di seluruh zaman.




Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memiliki dan memelihara (banyak) alam semesta (al-Fatihah, 1:2)

Thursday, November 23, 2006

Demokrasi Vs Syariah Islam








1. Syariah Islam : Definisi dan Urgensinya

Syariah Islam (al-hukm al-syar’iy) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (khithab al-syaari’ al-muta’alliqu bi af-al al-‘ibad). Maka segala aktivitas manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, mu’amalat, dan ‘uqubat [sistem pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).

Secara garis besar, menurut al-Mahmud (1995) dalam Al-Da’wah ila al-Islam pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :(1) individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;
(2) kelompok (jama’ah), misalnya amar ma’ruf nahi mungkar (lihat QS 3 : 104); (3);

(3) negara, misalnya sistem pidana (nizham ‘uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm), dan sistem ekonomi (nizham al-iqtishad).

Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan kelompok tidak mensyaratkan keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan publik, jelas mensyaratkan keberadaan negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin hukum-hukum publik seperti sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini bukan sembarang negara, melainkan hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah, sehingga siap melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah (Imamah).

Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah wajib hukumnya (lihat misalnya QS 4:59). Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari keimanannya terhadap islam (QS 4:65). Sebaliknya seorang muslim haram hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam (QS 4:45, QS 4:47), dan bahkan jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah lebih baik, ia menjadi kafir (murtad) (QS 4:44).

Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem-problem manusia (mu’aalajaat li masyaakil al-insaan). Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti Freeport, Exxon, Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya, akan dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja diselesaikan dengan Syariah Islam.


2. Demokrasi dan Syariah
2.1. Fakta Demokrasi

Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demikian slogan yang sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi demokrasi.
Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang merupakan kolaborasi gereja dan para raja Eropa ini menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) kepada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Perancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tapi masih diakui walau pun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.


Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur dan membuat hukumnya? Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.

Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal :

(1) hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-sya’b). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan;

(2) hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut.

Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990).

Untuk menjamin agar rakyat dapat menjalankan fungsinya dengan leluasa sebagai pembuat hukum dan sumber kekuasaan tersebut, demokrasi memberikan kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang mencakup 4 jenis kebebasan : (1) kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah), (2) kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), (3) kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk), dan (4) kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhshiyyah) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990).

2.2. Demokrasi Menurut Islam

Hizbut Tahrir menegaskan sikapnya tentang demokrasi dalam sebuah kitab karya Syaikh Abdul Qadim Zallum yang menyerukan, "Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambil, menerapkan, dan mempropagandakannya." (Zallum, 1990).

Mengapa demokrasi kufur? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat).

Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas, sebab menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia. Firman Allah SWT (artinya) :

"Menetapkan hukum hanyalah hak Allah." (QS Al-An’aam : 57)

Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai sistem kufur. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) :

"Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maa`idah : 44)

Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam. Antara lain :

a. Dari segi sumber : demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW.

b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208).

c. Dari segi standar pengambilan pendapat : demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya : (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.

d. Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat), di mana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas (‘adam al-taqayyud bi syai`in ‘inda al-qiyaam bi al-‘amal) (Zallum, Kaifa Hudimat al-Khilafah, 1986). Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum Syariah Islam (al-ashlu fi al-af’aal al-taqayyud bi al-hukm al-syar’i).

Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan Syariah Islam itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr (1990) menegaskan tanpa ragu-ragu :

"Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya degan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinci…Oleh karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi."

3. Relevansi Khilafah

Syariah dan Khilafah mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak mungkin dipisahkan. Sebab tidak mungkin kita menerapkan Syariah Islam secara sempurna, kecuali dengan Khilafah. Maka dari itu, keberadaan Khilafah adalah wajib secara syar’i demi melaksanakan kewajiban menerapkan Syariah Islam.

Dalam hal ini kaidah fikih menegaskan : Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (Jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya sesuatu, maka adanya sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Secara empiris, kita dapat pula menyaksikan betapa besarnya kebutuhan umat Islam akan Khilafah saat ini. Sebab dunia saat ini berada dalam hegemoni negara-negara Kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat. Hegemoni AS di bidang militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya itu tentu tidak boleh dibiarkan.

Tapi, tidak mungkin Dunia Islam membebaskan dirinya dari hegemoni kapitalis, kecuali dengan persatuan umat Islam (wihdatul Ummah). Dunia Islam sudah terbukti tidak mampu menghadapai hegemoni AS, karena telah terpecah-belah menjadi 56 negeri Islam. Dan persatuan umat Islam ini jelas tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan Khilafah. Sebab Khilafah bukanlah negara untuk satu bangsa atau golongan tertentu, melainkan negara untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Di seluruh dunia tidak boleh ada, kecuali hanya satu Khilafah saja.

Di sinilah relevansi Khilafah pada era kontemporer saat ini. Secara syar’i Khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT. Sedang secara empiris, Khilafah sangat dibutuhkan umat Islam untuk membebaskan dirinya dari hegemoni dan imperialisme negara-negara Kapitalis pimpinan AS.
4. Mungkinkah Khilafah?

Sebagai penutup, perlu dijelaskan juga jawaban untuk umat Islam yang sering bertanya,"Apakah Khilafah suatu utopia? Mungkinkah mendirikan Khilafah di tengah situasi politik saat ini untuk umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa?"

Jawabnya, Khilafah bukan utopia sebab jika utopia tentu Allah SWT tidak akan mewajibkannya kepada umat Islam. Sama saja dengan shalat. Ketika Allah mewajibkan shalat, berarti menegakkan shalat itu masih berada dalam batas-batas kesanggupan manusia. Demikian juga ketika Allah mewajibkan Khilafah, berarti menegakkan Khilafah itu juga masih berada dalam batas-batas kesanggupan manusia."Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa."

Hanya saja, tentu mewujudkan Khilafah yang dapat memayungi seluruh umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa tidak mungkin terjadi dalam sekejap. Khilafah untuk pertama kalinya nanti, dapat berdiri di sebuah negeri Islam dahulu. Kemudian secara bertahap, Khilafah melakukan ekspansi dan perluasan ke negeri-negeri lainnya sehingga akhirnya mencakup wilayah yang luas.


Hal itu sebagaimana Rasulullah SAW dahulu, yang mendirikan Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya hanya sebatas kota Madinah. Namun tapal batas wilayah ini terus meluas sejalan dengan misi jihad fi sabilillah. Pada saat Rasulullah wafat (11 H/632 M), wilayah Daulah Islamiyah telah mencakup seluruh Jazirah Arab.

Semoga Khilafah segera berdiri sebentar lagi dengan seizin Allah, walaupun orang-orang kafir pasti membencinya. Firman Allah SWT (artinya) :

"Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunju dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS Ash-Shaff : 9).


Wednesday, November 22, 2006

Kekeliruan para orientalis

Al-Qur`an merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis—Yahudi dan Kristen--setelah gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sayangnya, serangan tersebut didasari oleh asumsi yang keliru.

Pertama, mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur`an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan “hafalan yang dibaca”. Padahal, pada prinsipnya Al-Qur`an bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ”membaca Al-Qur`an” adalah membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin atau to recite from memory).

Tulisan yang ada berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebab pada awalnya ayat-ayat Al-Qur`an dicatat di atas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan hafalan sang qari'/muqri'. Proses transmisi semacam ini--dengan isnad (narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi--terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur`an hingga hari ini.

Ini sungguh berbeda dengan kasus Bibel. Tulisannya—fakta manuskrip dalam bentuk papyrus, perkamen, dan sebagainya--memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum (perjanjian) alias Gospel.

Dengan asumsi keliru ini—menganggap Al-Qur`an semata-mata sebagai teks-- mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 Masehi dan 8 dengan masyarakat sekeliling mereka.

Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.

Kedua, meskipun pada prinsipnya Al-Qur`an diterima dan diajarkan melalui hafalan, namun juga dicatat melalui berbagai medium tulisan. Sampai Rasulullah wafat, hampir seluruh catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat sehingga kualitas dan kuantitasnya berbeda satu sama lain. Ini karena para sahabat menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir glosses) di pinggir atau di sela-sela ayat untuk keperluan masing-masing.

Baru setelah menyusutnya jumlah penghafal Al-Qur`an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ’anhu hingga Al-Qur`an terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi.

Setelah wafatnya Abu Bakr (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah 'Umar bin Khattab sampai wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah 'Utsman bin Affan.

Pada masa inilah, atas desakan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'at yang ada. Mereka juga ditugasi meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira'ah-qira'ah mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

Namun, para orientalis biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 M. Di sini kelihatan bahwa para orientalis tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur`an tidak sama dengan Bibel. Al-Qur`an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya, manuskrip lahir dari Al-Qur`an.

Ketiga, salah faham tentang rasm dan qira'ah-qira'ah. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur`an ditulis gundul, tanpa tanda-baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Namun rasm 'Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur`an langsung dari para sahabat dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Lucunya, orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings (ragam pembacaan)--sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel--serta keliru menyamakan qira'ah dengan readings. Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab'iun li riwaayah), bukan sebaliknya.

Para orientalis itu juga salah faham mengenai rasm Al-Qur`an. Dalam bayangan mereka, munculnya bermacam-macam qira'ah disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca sesuka hatinya. Padahal ragam qira'ah telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm.

Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur`an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira'ah yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf) ”alif” pada kata ”m-l-k” (Al-Fatihah: 4) demi mengakomodasi qira'ah 'Ashim, al-Kisa'i, Ya'qub, dan Khalaf—yang menggunakan "maaliki"atau panjang--sekaligus qira'ah Abu 'Amr, Ibnu Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibnu 'Amir--"maliki" atau pendek.

Mungkin ada yang bertanya: Apakah semua qira'ah telah tertampung oleh rasm Utsmani? Adakah qira'ah mutawatir yang tidak terwakili oleh rasm Utsmani? Atau, apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah 'Utsman ke berbagai kota (Makkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira'ah yang dominan di kota tersebut?

Yang masuk katagori ketiga cukup banyak. Menurut Prof Dr Sya'ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir), jumlah qira`ah yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mashahi 'Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata.

Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah 'Utsman ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks. Dan memang, qira'ah sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama.

Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafsh di Kufah membaca Surat Az-Zukhruf: 71 dengan bacaan ”tasytahiihi al-anfus” (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam. Padahal dalam mushaf Kufah tertulis ”tasytahi” (dengan satu ha). Ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'ah adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf 'Utsmani.

Sebaliknya, jika suatu qira'ah tidak tercatat dalam salah satu mushaf Utsmani, qira'ah tersebut dianggap syadz' (janggal) dan tidak dapat diterima. Itu karena bertentangan dengan rasm yang disepakati atau rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira'ah mutawatir.

Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis sudah pasti ditolak.*



Oleh Syamsuddin Arief*

* Memperoleh gelar PhD dari ISTAC-IIUM Kualalumpur (Malaysia), sekarang sedang menulis disertasi PhD kedua di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt (Jerman)

Tuesday, November 21, 2006

Ilmu Tafsir Al-Quran

Tafsir Al Quran artinya menerangkan atau menjelaskan makna-makna Al Quran dan menetapkan hukum-hukum syariat yang terkandung di dalam Al Quran, menerangkan makna dan menjelaskan apa yang dikehendaki oleh Al Quran dengan nashnya, isyaratnya atau rahasianya yang mendalam. Tujuannya ialah memahami dan menjelaskan makna ayat-ayat Al Quran yang belum jelas baik segi hukum, akhlak dan hikmahnya. Pendek kata, dengan tafsir itu kita memperoleh petunjuk-petunjuk yang jelas tentang maksud firman Allah yang tercantum dalam Al Quran.

Dimaklumi bahwa Al Quran adalah kalamullah dan curahan ilmu-Nya yang tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak semua orang mampu mengetahui isi kandungan Al Quran yang sangat luas itu. Maka untuk mengungkap isi kandungan Al Quran itu perlu ada tafsir yang diterangkan oleh para ulama mufasir, yang dapat mengukuhkan sesuatu nash Al Quran sebagai sumber utama syariat Islam.

Kapan Tafsir Al Quran itu mulai tumbuh?

Tafsir Al Quran tumbuh mulai zaman Rasulullah SAW, bahkan beriringan dengan turunnya wahyu Al Quran,Namun pertumbuhan tafsir Al Quran dalam bentuk ilmu yang tersusun dimulai sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, setidak-tidaknya para pembawa ilmu ini, kalau sirut, akan berpangkal pada beliau.

Sepanjang sejarah Islam, telah ditulis ratusan kitab tafsir dalam berbagai bahasa dan metode, melalui pendekatan bahasa, akhlak, sejarah, hukum dan sebagainya. Berdasarkan pendekatan dan metode ini, diambillah salah satu sisi yang menjadi spesialisasi para ahli tafsir masing-masing. Misalnya, ada yang dikenal dengan Tafsir Ayatul Ahkam, yaitu tafsir yang membahas ayat-ayat Al Quran yang mengandung muatan hukum. Ada pula tafsir ayat-ayat yang membahas hanya masalah haji, tafsir ayat-ayat yang membahas masalah perempuan (Tafsir Ayatun Nisa).

Apakah semua orang dapat menafsirkan ayat-ayat Al Quran? Dan apakah ada persyaratan untuk menjadi mufasir?

Pada dasarnya semua orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al Quran, asalkan tidak menyimpang dari maksud ayat Al Quran dan dalam konteks apa ayat itu diturunkan.

Agar orang tidak menyimpang dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran, maka mufasir harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain :

(1) memiliki ilmu akidah yang benar
(2) memiliki hati yang bersih, terhindar dari pengaruh hawa nafsu sehingga tidak menafsirkan Al Quran dengan semaunya sendiri
(3) menguasai materi hadis dan memiliki ilmu hadis, karena untuk menafsirkan Al Quran khususnya ayat-ayat yang maknanya hanya berupa isyarah,diperlukan penjelasan hadis
(4) mengetahui bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan bahasa Arab
(5) memiliki ilmu pengetahuan yang luas sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syariat.

Ilmu yang terkait dengan bahasa Arab, apa saja itu?

Ada dua ilmu yang merupakan sarana yang amat diperlukan yaitu Ilmu I'rab dan Ilmu Bahasa yang juga disebut Ilmu Asalib (Ilmu Ma'ani dan Ilmu Bayan). Di samping itu, mufasir juga harus mengetahui ilmu hal ihwal manusia. Al Quran merupakan Kitab Suci yang terakhir dan tidak ada kitab suci lagi yang diberikan kepada nabi-nabi lain, karena Nabi Muhammad SAW adalah Rasul terakhir.

Orang yang akan mempelajari kandungan Al Quran harus memperhatikan hal ihwal manusia itu pada masanya dan mengetahui perubahan hal ihwal mereka. Seorang yang hendak menafsirkan Al Quran hendaknya yakin benar bahwa Al Quran itu penuh berisi ilmu pengetahuan dan selalu memberi kabar yang menggembirakan di samping ancaman yang menakukukan (basyfjran wa nazyan). Al Quran juga mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia dan alam, di dunia dan akhirat, serta mencegah segala bentuk pelangaran larangan yang dapat menjerumuskan manusia ke jalan kesengsaraan dan kehinaan.

Metode apa saja yang digunakan Mufasir dalam menafsirkan Al Quran?

Ada beberapa metode, antara lain:
(1) Metode Ijmali (global)
(2) Metode Bil-Ma'sur
(3) Metode Tafsili (Analisis)
(4) Metode Maudhu'i (tematis).

Penjelasannya masing-masing?

Metode Ijmali, atau metode global seperti yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin al-Sayuthi di dalam tafsirnya yang terkenal, Tafsir Jalalain, di mana kalimat-kalimatnya disusun secara ringkas dan umum, sehingga seakan-akan kita masih membaca Al Quran padahal yang dibaca adalah tafsirnya. Untuk beberapa ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tetapi tidak sampai pada wilayah analisis yang lengkap.

Sebagai contoh:
AlٱyLam Mmٱ : Allah yang lebih mengetahui tentang hal itu.
Dzٱlikal kitٱbu : Inilah kitab yang dibaca Muhammad. Lٱ Raiba fٱhi : Tidak ada keraguan di dalamnya bahwa kitab ini datang dari Allah.

Metode Bil Ma'sur, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al Quran dengan ayat-ayat Al Quran itu sendiri. Ayat yang dimujmalkan pada suatu tempat akan dibeberkan dengan ayat-ayat lain. Jika metode ini tidak dapat dilakukan. maka ayat-ayat Al Quran itu ditafsirkan dengan hadis (As Sunnah), karena hadis memiliki kedudukan sebagai penjelas bagi Al Quran.

Ambil misalnya, Surat Al Fatihah. Surat Al Fatihah dinamai Sab'ul Matsani, karena dibaca berulang-ulang, dibaca di dalam shalat, sesuai dengan hadis yang artinya: "Sesungguhnya Fatihah itu sebagai tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan sebagai Quran yang mulia yang diberikan kepadaku." (HR Turmuzi)

Metode Ijtihad (Tafsir bi al-ra'yi) ialah tafsir di mana mufasir menjelaskan ayat-ayat Al Quran berdasarkan pemahaman sendiri dan menyimpulkannya (istinbat) berdasarkan pendapat akalnya (ra'yu) semata, Misalnya, Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al Jawahir karya Tanthawi Jauhari, Tafsir The Holy Quran karya Muhammad AN MA, LLB, Tafsir Fi Jilaiil Quran karya Sayyid Quthub.

Bagi Muhammad Abduh, tafsir harus dapat dimengerti dengan mudah sehingga dapat menjadi petunjuk (hudan atau hidayah) guna meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, sesuai dengan fungsi diturunkannya Al Quran.

The Holy Quran memiliki kelebihan dari tafsir-tafsir lain karena pada setiap surat diberi keterangan ikhtisar isi surat dan hubungannya dengan surat sebelumnya. Kini, beberapa tafsir juga mengikuti cara yang dipakai oleh Muhammad AN, seperti Al Qur'an dan Terjemahnya yang disusun olch Tim Depag RI.

Tafsir Fi Jilalil Quran karya Sayyid Quthub, tokoh pejuang Ikhwanul Muslimin di Mesir, dianggap merupakan tafsir yang paling menonjol dan sulit dicari bandingannya. Pengarangnya layaknya hidup di bawah naungan (zilal) Al Quran, la meresapi keindahan Al Quran dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia khususnya umat Islam dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran pemikiran yang merusak dan pertarungan darah yang tiada hentinya. Dalam situasi seperti ini tidak ada jalan lain untuk menyelematkan umat, kecuali dengan Islam.

Sayyid Quthub menyatakan, berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah, bukan perbuatan sunnah, tetapi itu adalah keimanan.

Beberapa ayat yang terdapat dalam Al Quran, memberikan tuntunan kepada kita bahwa sesungguhnya Allah dalam mengatur kehidupan alam ini tidak menyerahkannya begitu saja kepada mekanisme alam yang buta dan tuli, tetapi mekanisme ini masih terdapat aturan perundangan lain, yaitu Iradat dan Kehendak llahiah yang mutlak.

Jadi, Allah-lah yang menciptakan segala yang dikehendaki, juga yang memelihara.

Monday, November 20, 2006

Islam dianggap Teroris ?

�Islam mengajarkan terorisme�, inilah pernyataan yang sangat ingin diharapkan berkembang di tengah informasi global oleh musuh-musuh Islam pasca serangkaian bom yang sengaja mereka ledakkan sendiri. Sebaliknya, justru Islam mengajarkan perdamaian, toleransi, keadilan, kasih sayang, cinta kepada sesama manusia, menghargai wanita, menghormati orang tua serta mengasihi fakir miskin. Peradaban mana pun di dunia ini perlu berterima kasih kepada sejarah Islam yang telah mencontohkan langsung bagaimana semua nilai luhur itu pernah dilakukan semasa Islam memimpin dunia.

Kini, saat barat sedang diberi kesempatan mendominasi dunia dan gagal total menjadi teladan manusia, mereka melancarkan propaganda makar terhadap Islam. Kampanye citra buruk terhadap Islam dijadikan upaya perlawanan terakhir setelah melihat perkembangan Islam yang terasa mulai berkembang kembali dengna sangat pesat di berbagai negeri, termasuk di jantung Eropa dan Amerika. Rupanya musuh-musuh Allah SWT sudah kehabiasan akal untuk secara kesatria bersaing secara sehat dengan cahaya agama Islam, sehingga mereka sudah masuk ke dalam upaya-upaya keji dan fitnah tanpa dasar demi membendung arus balik Islam yang amat dahsyat di dunia.

Sudah tak terhitung jumlah gereja yang bangkrut lalu dilego dan akhirnya malah menjadi islamic center. Kalau fenomena ini dibiarkan saja, bisa jadi ketakutan kebangkitan Islam dari Eropa benar-benar terjadi. Sebagaimana janji Rasulullah SAW bahwa dua pusat kekuatan barat akan jatuh ke tangan Islam. Yang pertama sudah terjadi, yaitu di masa kekuasaan Sultan Muhammad Al-Fatih, dengan jatuhnya Constantinopel ke tangan Islam yang kini menjadi Istambul. Sedangkan kota kedua adalah Roma atau Vatikan yang hingga hari ini masih belum terjadi namun pasti terjadi.

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang negeri manakah yang akan dikuasai lebih dahulu, Constantinopel atau Roma ?. Beliau SAW menjawab,�Negeri Heraklius lebih dahulu�. (HR. Ahmad dengan sanad Shahih).



Negeri Heraklius maksudnya adalah Contantinopel yang dibebaskan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada 29 Mei 1453.

Ketakutan barat atas kebangkitan Islam memang sangat beralasan, meski pun banyka juga dari umat Islam sendiri di negeri ini masih kurang yakin atas itu. Samuel Huntington dalam karyanya �The Class Of Civilization� secara sangat kentara menggambarkan rasa takut barat kepada dunia Islam. Ketakutan itu tentu saja berbentuk kebangkitan Islam di jantung negeri mereka sendiri, baik dengan serangan militer maupun dengan masuknya orang-orang barat sendiri secara sadar ke dalam agama Islam.

Literatur Islam sendiri memang banyak menyebutkan kembalinya Islam pada puncak kejayaannya.

Dari Tamim Ad-Daary bahwa Rasulullah SAW bersabda, �Sungguh Islam ini akan berkuasa hingga batas wilayah malam dan siang�. (HR. Ahmad dan Thabarany)



Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda, �Sesungguhnya Allah mengumpulkan bumi untukku hingga aku bisa melihat bagian Timur dan Baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai seluruh dunia. Dan aku dianugerahkan 2 harta yang berlimpah : Emas dan Perak�. (HR. Muslim 2889, Abu Daud 4252, Tirmizy 2203 dan Ibnu Majah 3952)



Meski sebenarnya, menurut pengamatan Dr. yusuf Al-Qaradawi, kebangkitan Islam di barat untuk masa kini cenderung bukan dengan pedang dan serangan militer, melainkan dengan tersebar luasnya informasi tentang ajaran Islam dan semakin terbuktinya ajaran Islam sebagai ajaran yang benar-benar dari dari Tuhan, bersih dari pemalsuan pemuka agama, suci dari khurafat dan tahayyul serta selalu berhasil menjadikan setiap peradaban yang dimasukinya menjadi jauh lebih maju dan kuat. Lalu berbebondong-bondonglah bangsa barat yang selama ini tertipu dan dibodohi oleh pemuka dua agama sebelum Islam, yahudi dan nasrani, bisa merasakan masuk Islam setelah 15 abad berada pada posisi yang tidak menguntungkan.

Kerjasama antar inteljen barat dan kekuatan `siluman` militer mereka dalam meledakkan bom di Indonesia tidak lain hanyalah upaya membuat citra Islam menjadi buruk. Dan karena itu, harapan mereka untuk membendung arus islamisasi di Eropa dan Amerika bisa berjalan mulus. Untuk lebih lengkapnya sandiwara itu, sangat masuk akal bila mereka memanfaatkan Usamah, Azhari, Amrozi dan orang-orang Islam lainnya sebagai pelaku terorisme itu. Yang jelas, melihat teknologinya, semua bom itu mustahil bisa diledakkan kecuali oleh militer tingkat tinggi atau kerjsama inteljen tingkat tinggi. Tidak mungkin bahan bakunya bisa dibeli di toko kimia pinggir jalan, apalagi hanya pakai karbit. Banga kita ini hanya baru bisa bikin petasan, sedangkan C-4 itu hanya ada di barat sana.

Namun rupanya Allah SWT punya kehendak lain, justru pasca terjadi pengeboman, situs-situs keislaman semakin laris dikunjungi orang barat yang penasaran ingin tahu ajaran Islam. Alih-alih meninggalkan Islam, justru antrian masuk Islam semakin panjang saja di sana. Sebab Islam jadi semakin populer setelah difitnah sana sini, termasuk oleh Bush dan komplotannya yang telah meratakan Iraq dengan tanah tanpa pernah berhasil membuktikan tuduhannya.

Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS. At-Taubah : 32)

Kata Ganti Allah dalam Al-Quran




Seorang teman dari FFI (forum pemurtadan)bertanya mengenai keEsaan Allah berhubungan dengan penyebutan kata KAMI sebagai ganti kata Allah (apakah memang lebih dari satu Allah ????) Naudzubillah......

Berikut penjelasannya :

Hal itu bukan berarti Allah banyak; tetapi Allah tetap satu.

Ada banyak penjelasan ulama terkait dengannya. Di antaranya disebutkan bahwa penyebutan kata ganti "Kami," Allah dipergunakan untuk menunjukkan adanya keikutsertaan pihak lain dalam perbuatan yang dimaksud. Misalnya dalam ayat al-Qadr yang berbunyi, "Kami menurunkan Alquran pada malam kemuliaan."
Allah mempergunakan kata "Kami" karena proses turunnya ayat Alquran melibatkan malaikat Jibril. Di sini juga terdapat pelajaran bagaimana Allah menghargai jasa pihak lain, meskipun kalau mau bisa saja turunnya Alquran tanpa melibatkan pihak lain.

Sementara,kata ganti "Aku" Allah pergunakan untuk sesuatu yang hanya boleh tertuju pada-Nya dan hanya menjadi milik-Nya. Sebagai contoh, "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." Di sini penciptaan Jin dan Manusia dibuat oleh Allah secara langsung. Dalam masalah beribadah harus hanya tertuju kepada Allah; karena itu, tidak boleh ada keterlibatan pihak lain.

Ada juga pendapat ulama sebagai berikut :

Dalam bahasa Arab, dhamir 'nahnu' adalah bentuk kata ganti orang pertama dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu nahwu, maknanya bisa saja bukan kami tetapi aku, saya dan lain-lainnya.

Terkadang kita sering terjebak dengan pertanyaan seperti ini. Model pertanyaan seperti ini bisa jadi berangkat dari kepolosan dan keluguan, namun di sisi lain bisa jadi merupakan usaha untuk membodohi umat Islam yang awam dengan bahasa arab dengan menggunakan pertanyaan menjebak ini. Hal ini tidak aneh dan sudah sering dilakukan. Dengan bekal kemampuan bahasa arab seadanya, pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata buat umat Islam yang minim ilmunya.

Rasa Bahasa

Tapi bagi mereka yang memahami bahasa Arab sebagai bahasa yang kaya dengan makna dan kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya, pertanyaan seperti ini terkesan lucu dan jenaka. Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang separo-separo.
Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.

Kata 'Nahnu` tidak harus bermakna arti banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.

Contoh Perbandingan

Dalam bahasa Indonesia ada juga penggunaan kata "Kami" tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang kepala sekolah dalam pidato sambutan pesta perpisahan anak sekolah berkata,"Kami sebagai kepala sekolah berpesan . . . ". Padahal yang jadi kepala sekolah hanya dia seorang dan tidak beramai-ramai, tapi dia bilang "Kami". Lalu apakah kalimat itu menunjukkan bahwa kepala sekolah sebenarnya ada banyak atau hanya satu ?. Kata kami dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa dicerap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa Indonesia. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.

Selain kata 'Nahnu", ada juga kata 'antum' yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan 'antum', maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan 'anta'.

Kalau teman diskusi anda yang nasrani itu tidak bisa memahami urusan rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena bible mereka memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga orisinalitas sebuah kitab suci. Karena sudah merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya. Ada sekian ribu versi bible yang antara satu dan lainnya bukan sekedar tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar bila Bible mereka itu tidak punya balaghoh, logika, rasa dan gaya bahasa. Dia adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai sakral.

Wednesday, November 15, 2006

Pandangan Islam terhadap Trinitas

Bagaimana pandangan Islam terhadap azas Trinitas?

Islam dengan tegas menolak azas ini Kitab Suci Al-Qur'an menyatakan; "Katakan, Tuhan adalah satu, dan padaNya segala sesuatunya bergantung. Dia tidak memperanakkan dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang sama dengan Dia." 112:1-4 "Dan mereka berkata: Tuhan yang Pemurah itu, mengambil anak. Sesunggahnya kamu telah membuat perkara yang luar biasa. Hampir langit pecah karenanya, dan bumi hancur, dan gunung-gunung runtuh binasa. Karena mereka menyatakan bahwa Tuhan Yang Pemurah mempunyai anak. Dan tiadalah sepatutnya Tuhan Yang Pemurah itu mengambil anak." 19:88-92.

Mengapa Islam menolak dengan tegas azas Trinitas?

Islam menolak Trinitas, sebab sifat keayahan dari Tuhan pada setiap kehidupan atau zat mati adalah tidak dapat dimengerti pada istilah jasmani, dan merendahkan konsep Tuhan. Dia adalah tidak terbatas dan juga tidak bertubuh, dan dia mencakup seluruh alam semesta. Dia tidak mempunyai teman hidup, guna memiliki anak seperti makhluk hidup yang lain Sifat keayahan(kebapakan), jiwaNya pada setiap jiwa atau ruh juga tidak dapat diterima bila hal itu diartikan lain daripada zat pencipta jiwa atau ruh. Tidak ada hubungan yang dapat diterima antara Tuhan dan setiap zat yang lain, lain daripada hubungan antara Pencipta dan ciptaanNya.

Dengan perkataan lain, zat yang lain akan berdiri sendiri (bebas) dari Tuhan, dan dia akan menjadi kawanNya. Sekarang bila menganggap anak disatukan dengan Tuhan, hal ini akan menjadi seperti bila saya nyatakan bahwa anak saya si Ali dan saya adalah satu. Bila pernyataan yang demikian adalah benar, saya akan menjadi ayah dari diri saya sendiri, sebab saya adalah anak saya sendiri, Ali. Dan anak saya, Ali, akan menjadi anak dari dirinya sendiri, sebab dia adalah saya. Jadi, Tuhan akan menjadi ayah dari diriNya sendiri, dan anakNya akan menjadi anak dari diriNya sendiri.

Tuhan adalah tidak, dan tidak dapat menjadi ayah dari setiap kehidupan atau zat mati bila keayahannya digunakan untuk arti yang sebenarnya. Bila kata itu digunakan di dalam arti kiasan, artinya bahwa Tuhan adalah sebagai berbelas kasih pada kehidupan yang diciptakanNya sebagai Ayah, maka Dia tidak akan hanya menjadi Ayah dari satu orang tetapi Ayah dari seluruh manusia. Dan ini adalah apa yang dapat dimengerti dari sembahyangnya orang Kristen "Ayah kita, kepandaianmu di langit (sorga) ..." Tetapi, walaupun bersatu, pemakaian arti kiasan dari kata ini adalah bertentangan dengan Islam sebab hal itu menyesatkan dan mengacaukan pada orang-orang. Orang-orang Islam, tidak menggunakan hal itu.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa orang-orang Islam tidak mempercayai ke-Tuhanan Yesus, apakah anda mempunyai bukti yang jelas terhadap kesalahan ketuhanannya?

Kita tidak perlu membuktikan kesalahan ketuhanan Yesus atau Muhammad atau setiap mahluk hidup yang lain. Tetapi bila anda mendakwa ketuhanan seseorang di samping Tuhan, anda perlu membuktikan dakwaan anda. Untuk menjelaskan hal ini, anda adalah seorang manusia. Bila seseorang menyangka bahwa anda adalah malaikat, dia harus membuktikannya. Saya tidak perlu membuktikan bahwa anda adalah seorang manusia sebab anda nampak seperti seorang manusia. Seseorang yang menyangka bahwa anda malaikat harus membuktikannya apa yang ia sangka, sebab sangkaannya bertentangan dengan arti umum dan bertentangan dengan kebenaran yang nyata (yang sebenarnya).

Bila seseorang menyatakan bahwa Yesus atau Muhammad adalah seseorang dan bukan Tuhan, dia sesuai dengan arti umum yang tampak kebenarannya. Yesus hidup seperti seorang manusia, kelihatan sebagai seorang manusia, tidur seperti manusia, makan seperti manusia, dan digoda seperti manusia yang lain. Tidak ada dari kebenaran-kebenaran ini yang memerlukan bukti.

Dugaan Yesus itu tuhan bertentangan dengan arti umum. Untuk ini, dia dan tak seorangpun, telah mengadakan bukti untuk sangkaannya. Meskipun orang-orang Islam tidak bermaksud mengumpulkan bukti-bukti untuk menolak ketuhanan Yesus, mereka dapat menunjukkan lebih dari satu bukti:
1. Yesus adalah penyembah yang baik. Tentu dia menyembah Tuhan, bukan dirinya. Ini bukti bahwa dia bukan Tuhan tetapi hanya pesuruh Tuhan.

2. Sesuai dengan tiga Injil, kata-kata Yesus yang terakhir adalah: "Tuhanku, Tuhanku mengapa engkau meninggalkan saya?" Seseorang yang mempunyai Tuhan, maka dia bukanlah Tuhan.

3. Tuhan senantiasa hidup, tetapi Yesus dapat meninggal (mati). Tuhan adalah Maha kuasa, tetapi Yesus digoda.

Mengapa kita tidak dapat memandang Yesus sebagai Tuhan ditilik dari sudut kewajibannya dan sebagai manusia dari segi badannya?

Mempunyai tubuh dan ruh (jiwa), tidak hanya dimiliki oleh Yesus, sebab setiap manusia memiliki kedua-duanya. Anda memiliki ruh (jiwa) dan tubuh dan demikian pula saya. Dan tidak ada dari ruh-ruh kita yang mati, karena ruh kita akan melanjutkan hidup setelah kita mati. Tetapi hal ini tidak membuat setiap dari kita adalah Tuhan, dan demikian halnya dengan Yesus.

Tetapi Yesus tidak seperti kita. Dia, menurut Qur'an dan Injil, dilahirkan dari seorang Ibu tanpa Ayah. Apakah ini tidak dimaksudkan bahwa dia lebih daripada manusia?

Dilahirkan dari seorang ibu tanpa ayah tidak membuat Yesus lebih daripada manusia. Adam diciptakan tanpa ayah dan ibu, dan itu tidak membuat dia lebih daripada manusia.

Dari Kitab Suci al-Qur'an: "Sesungguhnya perumpamaan (kejadian) Isa di sisi Tuhan seperti kejadian Adam, dijadikan dari tanah, lalu Tuhan mengatakan kepadanya: Jadilah, lalu jadi" 3:59

Baik Yesus maupun Adam kedua-duanya adalah bukan Tuhan sebab mereka bukan pencipta alam semesta.


Bagaimana kita tahu bahwa dia bukan pencipta alam semesta?

Para ahli ilmu pengetahuan menyatakan bahwa bintang-bintang berumur lebih dari empat billion tahun umurnya, dan Yesus dilahirkan kurang dari dua ribu tahun yang lalu. Bagaimana mungkin alam semesta yang setua itu diciptakan oleh Pencipta yang sedemikian muda?

Adakah misionaris dalam Islam ?

Apakah Islam mengajurkan lewat missi untuk memasukkan orang kedalam Agama Islam semacam yang telah dilakukan Kristen?

Jawaban :


Islam, seperti Kristen, mengundang manusia yang bukan Muslim untuk menjadi pengikut Islam. Meskipun demikian, Islam tidak pernah mengorganisir missi seperti yang dilakukan Kristen. Ini adalah kewajiban bagi setiap Muslim, yang memiliki ilmu tentang Islam, untuk memberitahukan pada yang lain mengenai prinsip kepercayaannya, dan mendidik orang yang bukan Islam supaya memeluk Islam. Tidak adanya kependetaan di dalam Islam merupakan satu di antara alasan-alasan tidak adanysa organisasi missi seperti dalam Kristen.

Faktor lain adalah bahwa sejumlah besar orang Islam, cenderung untuk mempercayai bahwa Islam dapat menyebar sendiri. Kecenderungan ini menghasilkan kemajuan yang menakjubkan, tanpa melalui usaha-usaha besar. Berjuta-juta rakyat di berbagai daerah memeluk Islam, tidak melalui missi yang terorganisasi, tetapi melalui hubungan dengan beberapa orang Islam yang mempengaruhi mereka melalui ketulusan hati dan ajaran yang menarik.

Orang-orang Islam itu memberikan faham kepercayaannya pada orang lain, bukan karena mereka dikirim oleh badan tertentu atau missionari, tetapi disebabkan mereka percaya bahwa Islam adalah usaha setiap Muslim; mereka melakukan pekerjaan dengan tanggungjawab mereka sendiri. Meskipun demikian, Islam lebih cepat meluas daripada Kristen.

Apakah muslim mengetahui tentang jumlah missi Kristen seluruh Dunia?

Jumlah utusan-utusan Kristen seluruh Dunia (menurut Detroit News Issue of Sunday, April 2, 1961) berjumlah 212.250 missi. Ini mencakup 170 ribu Katolik dan 42.250 Protestan, bisa kebayang nggak sekarang berapa juta misionaris.

Barisan missi yang sangat besar ini dibantu oleh beribu-ribu organisasi agama yang mengeluarkan berbilliun-billiun dollar setiap tahunnya untuk missi-missi ini. Dibandingkan dengan ini, orang-orang Islam mempunyai beberapa pusat da'wah yang jumlahnya untuk seluruh dunia tidak mencapai ribuan. Pusat-pusat ini tidak mempunyai bantuan keuangan seperti yang diterima oleh missi Kristen, mereka juga tidak bermaksud memasukkan orang ke agama Islam. Pekerjaan mereka hanya memberi da'wah tentang Islam.

Islam memiliki janji yang muluk2 ?

Beberapa pengeritik Islam mengatakan bahwa Islam menjanjikan untuk orang-orang Islam yang baik yaitu sorga dimana mereka senang dan tersedia apa yang mereka inginkan, baik materiel, spirituil. Pengeritik-pengeritik ini berfikir bahwa Islam mempunyai janji yang lebih besar daripada Kristen, dan karena itu, dengan janji-janjinya akan menarik orang-orang.

Inilah jawaban pencerahannya

Suatu janji mungkin menarik bila hal itu datang dari pihak yang dapat dipercaya. Bila suatu perusahaan yang jujur menawarkan suatu pekerjaan pada anda maka anda akan menerima dan bekerja untuk perusahaan itu dan mempercayai kesanggupannya untuk membayar upah.

Tetapi, anda tidak akan bekerja walau untuk satu haripun buat seseorang yang anda tahu bahwa dia bangkrut, sebab anda tidak percaya bahwa dia akan dapat membayar upah anda. Saya kira tidak benar bahwa pemeluk Agama akan sudi menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan sesuatu yang dikehendaki, demi janji-janji semata, bila dia tidak mcmpunyai kepercayaan terhadap Islam yang membuat janji-janji ini.

Tidak ada janji yang menarik bila janji-janji itu dibuat oleh pembuat janji yang tidak dapat dipercaya. Menariknya suatu janji tergantung dari adanya kepercayaan. Kepercayaan di dalam Islam lebih penting daripada janji-janji.

Islam dianggap militan ?

Sejarah menunjukkan, orang-orang Islam pada mula-mulanya adalah militan dan pejuang. Banyak pertempuran antara pasukan Islam dan bukan Islam di Syria, Mesir, Afrika Utara, Spanyol, dan di tempat-tempat yang lain. Beberapa pengeritik menyatakan bahwa Islam berkembang lewat kekuatan (kekerasan), dan tidak dengan berkhotbah dan usaha meyakinkan (persuasi).

Apakah jawaban Muslim ???

Inilah jawabannya :

Kekuatan bisa mengalahkan badan tetapi tidak dapat mengalahkan spirit (semangat). Anda mungkin dapat menundukkan seseorang atau kelompok dengan menggunakan kekuatan, tetapi anda tidak dapat membuat mereka percaya bahwa anda adalah benar.

Aljazair dikuasai oleh Perancis selama lebih dari 100 tahun, tetapi tidak membuat mereka cinta pada penjajah. Segera setelah mereka mendapat kesempatan, mereka bangkit dan melawan penjajahnya dan menghancurkan kekuasaannya. Adalah tidak masuk akal untuk mempercayai bahwa Islam mengembangkan ajarannya dengan kekuatan.

Muhammad sendiri tidak dapat melawan mereka yang memaksa Muhammad memeluk kepercayaan mereka. Sejarah menyaksikan bahwa Muhammad tinggal di Mekkah selama 13 tahun setelah dia memproklamasikan kepercayaannya, di bawah ancaman lawan-lawannya yang meliputi mayoritas penduduk Mekkah. Setiap orang yang ingin mengikuti (memeluk) kepercayaannya dicaci-maki, diancam dan digoda oleh orang-orang Mekkah, dan meskipun demikian, jumlah orang-orang Islam tetap bertambah. Dapatkah kita membayangkan bahwa Muhammad di bawah lingkungan yang demikian dapat menganjurkan orang-orang dengan kekuatan bila dia sendiri dikejar-kejar? Pada masa berikutnya, orang-orang Islam menjadi cukup kuat untuk melawan musuh-musuhnya, dan sejarah mencatat bahwa mereka bertempur untuk Islam, tetapi hal ini tidak dimaksudkan bahwa Islam menganjurkan menggunakan kekuatan.

Sekarang ada lebih 100 juta orang Islam di Indonesia, 50 juta lebih di Afrika Barat. Pemeluk-pemeluk yang berjuta-juta ini adalah memeluk Islam melalui hubungan yang damai dengan orang-orang Islam yang datang ke daerah-daerah itu sebagai pedagang atau pendidik. Akan tetapi, tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa orang Islam adalah militan. Orang-orang Islam benar-benar pembela-pembela yang baik untuk kemerdekaannya. Kita mengetahui bahwa tidak ada ideologi akan berkembang atau hidup di dalam masyarakat yang tidak bebas (merdeka). Kebebasan untuk mempercayai, melaksanakan dan berbicara, adalah perlu untuk pertumbuhan setiap ideologi. Tidak adanya perlindungan untuk kebebasan (kemerdekaan), hal itu akan menjadi kewajiban orang-orang dan ideologi untuk melindungi kebebasannya diri sendiri.

Tuesday, November 14, 2006

Hukum Islam dianggap kejam ?

Banyak tuduhan yang diarahkan kepada hukuman terhadap orang murtad, hukum rajam, potong tangan, dan qishash yang dianggap kejam, tidak manusiawi dan barbar. Persoalannya seringkali hukuman tersebut dilihat dari satu sisi, yaitu kemanusiaan menurut standard abad 20 yang
dianggap paling beradab tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan efektifitas hukum tersebut.
Hal-hal seperti ini seringkali kita lihat di forum2 pemurtadan (contohnya FFI), pendapat2 yang menyebut bahwa hukum Islam adalah barbar menjadi obrolan tiap hari, mereka berdebat tanpa dasar dan pengetahuan yang cukup.

Melihat dari sumber pidananya, hukuman dalam Islam memiliki landasan yang sangat kokoh, yaitu Alquran dan Sunnah bukan berdasarkan dugaan manusia belaka. Melihat dari segi kepastian hukum juga jelas karena tidak boleh ada perubahan terhadap tindak pidana yang diberi ancaman hukum hadd.

Sistem ini juga mengenal sistem pengampunan jika korban atau keluarga korban mau memaafkan, serta memperhatikan aspek pencegahan, pendidikan, dan perlindungan bagi masyarakat, sekaligus perbaikan bagi si pelaku.

Selain itu, hukuman yang dijatuhkan hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat-syarat yang ketat. Dalam hal pencurian misalnya pemotongan tangan adalah hukuman maksimum. Ia tidak boleh dijatuhkan jika pencurian dilakukan terhadap harta yang tidak mencapai nishab atau jumlah tertentu; jika motif karena sesuatu yang darurat, dsb. Sama halnya dengan dibunuh dalam murtad adalah hukuman maximum. Begitu juga murtad yang akhirnya bisa menyadari kesalahannya maka dia akan diampuni, (riddah mujarradah (murni)).
Biasanya hal ini di samaratakan oleh forum pemurtadan seperti FFI untuk menyamaratakan pendapat bahwa setiap orang murtad pasti akan dibunuh tanpa melihat tingkatan murtad dan syarat diberlakukannya hukuman mati bagi para murtadun.

Selanjutnya menurut Muhammad Iqbal Siddiqi kritik yang dilancarkan Barat terhadap hukuman perzinahan yang diterapkan Islam misalnya dibangun semata-mata karena perasaan moral mereka yang belum terbangun seutuhnya.

Mereka melihat zina sebagai sesuatu yang bersifat indecent, menyenangkan, dan biasa. Karena itu, mereka ingin mentoleransi perbuatan tersebut. Sehingga tidak aneh kalau hukum Islam kemudian dianggap kejam.

Nah, jika perasaan moral dan sosial telah terbangun mereka akan menyadari bahwa perzinahan baik yang dilakukan dengan paksaan atau sukarela, baik oleh orang yang terikat perkawinan atau tidak, merupakan suatu kejahatan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat secara keseluruhannya.