Tuesday, November 21, 2006

Ilmu Tafsir Al-Quran

Tafsir Al Quran artinya menerangkan atau menjelaskan makna-makna Al Quran dan menetapkan hukum-hukum syariat yang terkandung di dalam Al Quran, menerangkan makna dan menjelaskan apa yang dikehendaki oleh Al Quran dengan nashnya, isyaratnya atau rahasianya yang mendalam. Tujuannya ialah memahami dan menjelaskan makna ayat-ayat Al Quran yang belum jelas baik segi hukum, akhlak dan hikmahnya. Pendek kata, dengan tafsir itu kita memperoleh petunjuk-petunjuk yang jelas tentang maksud firman Allah yang tercantum dalam Al Quran.

Dimaklumi bahwa Al Quran adalah kalamullah dan curahan ilmu-Nya yang tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak semua orang mampu mengetahui isi kandungan Al Quran yang sangat luas itu. Maka untuk mengungkap isi kandungan Al Quran itu perlu ada tafsir yang diterangkan oleh para ulama mufasir, yang dapat mengukuhkan sesuatu nash Al Quran sebagai sumber utama syariat Islam.

Kapan Tafsir Al Quran itu mulai tumbuh?

Tafsir Al Quran tumbuh mulai zaman Rasulullah SAW, bahkan beriringan dengan turunnya wahyu Al Quran,Namun pertumbuhan tafsir Al Quran dalam bentuk ilmu yang tersusun dimulai sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, setidak-tidaknya para pembawa ilmu ini, kalau sirut, akan berpangkal pada beliau.

Sepanjang sejarah Islam, telah ditulis ratusan kitab tafsir dalam berbagai bahasa dan metode, melalui pendekatan bahasa, akhlak, sejarah, hukum dan sebagainya. Berdasarkan pendekatan dan metode ini, diambillah salah satu sisi yang menjadi spesialisasi para ahli tafsir masing-masing. Misalnya, ada yang dikenal dengan Tafsir Ayatul Ahkam, yaitu tafsir yang membahas ayat-ayat Al Quran yang mengandung muatan hukum. Ada pula tafsir ayat-ayat yang membahas hanya masalah haji, tafsir ayat-ayat yang membahas masalah perempuan (Tafsir Ayatun Nisa).

Apakah semua orang dapat menafsirkan ayat-ayat Al Quran? Dan apakah ada persyaratan untuk menjadi mufasir?

Pada dasarnya semua orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al Quran, asalkan tidak menyimpang dari maksud ayat Al Quran dan dalam konteks apa ayat itu diturunkan.

Agar orang tidak menyimpang dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran, maka mufasir harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain :

(1) memiliki ilmu akidah yang benar
(2) memiliki hati yang bersih, terhindar dari pengaruh hawa nafsu sehingga tidak menafsirkan Al Quran dengan semaunya sendiri
(3) menguasai materi hadis dan memiliki ilmu hadis, karena untuk menafsirkan Al Quran khususnya ayat-ayat yang maknanya hanya berupa isyarah,diperlukan penjelasan hadis
(4) mengetahui bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan bahasa Arab
(5) memiliki ilmu pengetahuan yang luas sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syariat.

Ilmu yang terkait dengan bahasa Arab, apa saja itu?

Ada dua ilmu yang merupakan sarana yang amat diperlukan yaitu Ilmu I'rab dan Ilmu Bahasa yang juga disebut Ilmu Asalib (Ilmu Ma'ani dan Ilmu Bayan). Di samping itu, mufasir juga harus mengetahui ilmu hal ihwal manusia. Al Quran merupakan Kitab Suci yang terakhir dan tidak ada kitab suci lagi yang diberikan kepada nabi-nabi lain, karena Nabi Muhammad SAW adalah Rasul terakhir.

Orang yang akan mempelajari kandungan Al Quran harus memperhatikan hal ihwal manusia itu pada masanya dan mengetahui perubahan hal ihwal mereka. Seorang yang hendak menafsirkan Al Quran hendaknya yakin benar bahwa Al Quran itu penuh berisi ilmu pengetahuan dan selalu memberi kabar yang menggembirakan di samping ancaman yang menakukukan (basyfjran wa nazyan). Al Quran juga mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia dan alam, di dunia dan akhirat, serta mencegah segala bentuk pelangaran larangan yang dapat menjerumuskan manusia ke jalan kesengsaraan dan kehinaan.

Metode apa saja yang digunakan Mufasir dalam menafsirkan Al Quran?

Ada beberapa metode, antara lain:
(1) Metode Ijmali (global)
(2) Metode Bil-Ma'sur
(3) Metode Tafsili (Analisis)
(4) Metode Maudhu'i (tematis).

Penjelasannya masing-masing?

Metode Ijmali, atau metode global seperti yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin al-Sayuthi di dalam tafsirnya yang terkenal, Tafsir Jalalain, di mana kalimat-kalimatnya disusun secara ringkas dan umum, sehingga seakan-akan kita masih membaca Al Quran padahal yang dibaca adalah tafsirnya. Untuk beberapa ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tetapi tidak sampai pada wilayah analisis yang lengkap.

Sebagai contoh:
AlٱyLam Mmٱ : Allah yang lebih mengetahui tentang hal itu.
Dzٱlikal kitٱbu : Inilah kitab yang dibaca Muhammad. Lٱ Raiba fٱhi : Tidak ada keraguan di dalamnya bahwa kitab ini datang dari Allah.

Metode Bil Ma'sur, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al Quran dengan ayat-ayat Al Quran itu sendiri. Ayat yang dimujmalkan pada suatu tempat akan dibeberkan dengan ayat-ayat lain. Jika metode ini tidak dapat dilakukan. maka ayat-ayat Al Quran itu ditafsirkan dengan hadis (As Sunnah), karena hadis memiliki kedudukan sebagai penjelas bagi Al Quran.

Ambil misalnya, Surat Al Fatihah. Surat Al Fatihah dinamai Sab'ul Matsani, karena dibaca berulang-ulang, dibaca di dalam shalat, sesuai dengan hadis yang artinya: "Sesungguhnya Fatihah itu sebagai tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan sebagai Quran yang mulia yang diberikan kepadaku." (HR Turmuzi)

Metode Ijtihad (Tafsir bi al-ra'yi) ialah tafsir di mana mufasir menjelaskan ayat-ayat Al Quran berdasarkan pemahaman sendiri dan menyimpulkannya (istinbat) berdasarkan pendapat akalnya (ra'yu) semata, Misalnya, Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al Jawahir karya Tanthawi Jauhari, Tafsir The Holy Quran karya Muhammad AN MA, LLB, Tafsir Fi Jilaiil Quran karya Sayyid Quthub.

Bagi Muhammad Abduh, tafsir harus dapat dimengerti dengan mudah sehingga dapat menjadi petunjuk (hudan atau hidayah) guna meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, sesuai dengan fungsi diturunkannya Al Quran.

The Holy Quran memiliki kelebihan dari tafsir-tafsir lain karena pada setiap surat diberi keterangan ikhtisar isi surat dan hubungannya dengan surat sebelumnya. Kini, beberapa tafsir juga mengikuti cara yang dipakai oleh Muhammad AN, seperti Al Qur'an dan Terjemahnya yang disusun olch Tim Depag RI.

Tafsir Fi Jilalil Quran karya Sayyid Quthub, tokoh pejuang Ikhwanul Muslimin di Mesir, dianggap merupakan tafsir yang paling menonjol dan sulit dicari bandingannya. Pengarangnya layaknya hidup di bawah naungan (zilal) Al Quran, la meresapi keindahan Al Quran dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia khususnya umat Islam dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran pemikiran yang merusak dan pertarungan darah yang tiada hentinya. Dalam situasi seperti ini tidak ada jalan lain untuk menyelematkan umat, kecuali dengan Islam.

Sayyid Quthub menyatakan, berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah, bukan perbuatan sunnah, tetapi itu adalah keimanan.

Beberapa ayat yang terdapat dalam Al Quran, memberikan tuntunan kepada kita bahwa sesungguhnya Allah dalam mengatur kehidupan alam ini tidak menyerahkannya begitu saja kepada mekanisme alam yang buta dan tuli, tetapi mekanisme ini masih terdapat aturan perundangan lain, yaitu Iradat dan Kehendak llahiah yang mutlak.

Jadi, Allah-lah yang menciptakan segala yang dikehendaki, juga yang memelihara.