Friday, November 10, 2006

Hukum bagi orang MURTAD




Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman agar selalu berpegang pada aturan Islam, sesuai firman-Nya, artinya:

“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya” (Al-Baqarah: 208).

Ini adalah karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah yang lurus dan benar sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Ar-Ruum: 30.

Orang yang murtad adalah orang Islam yang keluar dari agamanya, yang juga berarti telah menentang aturan paten seluruh alam dari langit, bumi, hewan dan tumbuhan yang diciptakan agar senantiasa tunduk dan patuh hanya kepada Allah saja, sebagaimana difirmankan, artinya:

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi baik secara sukarela ataupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan” (Ali Imran: 83)

Kebencian para kafir kepada mereka yang menyembah Allah adalah amat keterlaluan. berbagai usaha dilakukan namun tidak mendatangkan hasil lumayan, tetapi yang pasti upaya memurtadkan kaum Muslimin tidak pernah pudar dari benak mereka, FFI (forum pemurtadan) salah satunya. Islam dituduh agama yang 'ketat' dan zalim, tidak memberi kebebasan. Slogan kebebasan di dengungkan ke seluruh dunia dan dijual dengan penuh keindahan. Hak Asasi Manusia diolah sedemikian rupa sehingga menjadi satu perjuangan yang suci lagi menyucikan. Umat Islam tergencet. Ada yang ingin membela Islam, namun meletakkan diri di tempat salah, membela Islam sebagai pihak yang tertuduh. Amrozi dkk adalah hasilnya.

Di dalam mempertahankan perjuangan mereka, golongan pendukung-murtad ini (termasuk Forum FFI) telah mengelirukan umat Islam dengan tafsiran ayat "tidak ada paksaan dalam agama..." [TMQ al-Baqarah:256]. Mereka mengatakan bahwa orang Islam boleh keluar dari Islam berdasarkan ayat ini. Kesalahan mereka amat jelas dan kentara di mana ayat yang mulia ini sebenarnya menerangkan tidak ada paksaan ke atas orang kafir untuk memeluk Islam, bukan sebaliknya. Jadi meskipun wajib bagi orang kafir untuk masuk Islam (lihat Ali-Imran:3,19,85), mereka hendaklah memeluk Islam atas kerelaan dan kesadaraan sendiri dan bukan karena ada paksaan.

Mereka juga berhujjah mengatakan bahwa hadist "Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah dia" sebagai Hadis Dha'if (lemah), karena terdapat Muhamad bin Al-Fadhal di dalam sanadnya. Sebenarnya Muhamad bin Al-Fadhal diterima oleh ahli hadis, hingga di penghujung umur beliau. Imam Bukhari berkomentar bahawa dia adalah tsiqah (dipercayai) tetapi "berubah-ubah di penghujung umurnya".

Kebohongan golongan pendukung-murtad ini jelas di mana mereka sebenarnya tidak mengkaji hadis ini dengan sempurna. Terdapat hadis yang sama diriwayatkan oleh Bukhari melalui 16 sanad yang lain yang tidak terdapat Muhamad bin Al-Fadhal di dalamnya. Yang mereka ketengahkan ialah satu sanad saja yang dikatakan tidak sahih kerana adanya Muhamad bin Al-Fahdhal (Hadis #6411) padahal terdapat 16 sanad yang lain (Hadis #2794) yang tidak terdapat Muhamad bin Al-Fadhal dan yang langsung tidak mengandung kecacatan di dalamnya namun ini tidak pernah dibincangkan oleh golongan pendukung-murtad ini.

Terdapat banyak lagi pengeliruan dan kebohongan nas-nas yang dilakukan di dalam pembolehan murtad ini. Golongan ini memang 'kreatif' di dalam mencari nas demi merubah hukum Allah.

Jikalau hukum bikinan manusia yang disana-sini banyak kekurangan dan kontroversi mengharuskan adanya sanksi dan hukuman bagi pelanggarnya maka bagaimana lagi dengan orang yang menentang hukum Allah dan berusaha lepas darinya, padahal ia adalah sebaik-baik hukum secara mutlak?

Oleh karena itu Allah pun mensyari‘at-kan adanya penegakan hudud, termasuk hadd (sanksi) bagi pelaku riddah (murtad). Hal ini semata-mata karena adanya tujuan syar‘i yang sangat penting dan agung yaitu terjaganya agama (Islam). Dialah Yang Maha Bijaksana dalam menentukan syari‘at dan hukum, Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, Maha Mengetahui terhadap perkara-perkara yang membawa maslahat bagi makhluk-Nya baik di dunia maupun di akhirat. Pengertian riddah, atau murtad adalah sebagai berikut:

Menurut Al Kasani al Hanafi bahwa sudah termasuk murtad orang-orang yang melontarkan kalimat kufur dengan lisan setelah adanya iman, jadi riddah adalah kembalinya seseorang dari keimanan kepada kekufuran. Ash Shaawi al Maliki berkata:

“Riddah adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan terang-terangan, atau ucapan yang yang menjurus kepada kekafiran atau mengerjakan sesuatu yang mengandung kekufuran."

Sedang menurut Asy Syarbaini asy Syafi‘i, riddah adalah memutuskan atau melepaskan diri dari Islam dengan niat ataupun perbuatan, demikian pula ucapan baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan.

Adapun Al Bahuti al Hanbali berpendapat bahwa orang murtad menurut syara‘ yaitu orang yang ingkar (kufur) setelah keislamannya baik berupa ucapan, keyakinan, keraguan ataupun perbuatan.

Dari pengertian dan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa riddah (murtad) adalah kembali atau berbaliknya seseorang dari keimanan. Dan secara bahasa ia memang memiliki arti kembali sebagaimana difirmankan oleh Allah, artinya: “Dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh).” (Al -Maidah: 21).

Berbaliknya seorang dari Islam dapat saja dalam bentuk i‘tiqad (keyakinan), ucapan dan perbuatan, dan ini sejalan dengan pengertian iman yang juga mencakup keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Atau secara rinci bentuk riddah dapat kita jabarkan sebagai berikut:

1. Riddah dengan ucapan hati seperti mendustakan wahyu yang diturunkan Allah seperti tidak mengimani bahwa semua ayat Quran itu kalamullah atau berkeyakinan adanya Pencipta selain Allah dsb.

2. Riddah dengan perbuatan hati seperti membenci Allah dan Rasulullah-Nya, sombong dan enggan mengikuti perintah Rasul Saw.

3. Riddah dengan ucapan lisan seperti mencela Allah atau mencela Rasulullah, berolok-olok terhadap agama dan sebagainya.

4. Riddah dengan perbuatan anggota badan seperti sujud kepada berhala, menghina Mushaf Al Qur‘an dan lain sebagainya.

Hukuman bagi orang murtad (pelaku riddah) adalah dapat dikenakan hukuman bunuh (mati) tentunya setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penetapan oleh Mahkamah Syar‘iyah.

Eksekusinya tentunya setelah ada ketetapan tadi berkekuatan hukum. Shahibul Fatwa berkata:

“Sesungguhnya jikalau pelaku murtad itu tidak dihukum mati maka tentu setiap orang yang memeluk Islam akan (seenaknya, red) keluar dari Islam. Hukuman (mati) tersebut tidak lain adalah untuk menjaga pemeluk Islam dan juga agama Islam. Hal ini untuk mencegah orang dari main-main dalam agama dan dengan leluasa dan seenaknya keluar darinya.

” Orang murtad yang dihukum mati itu tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Juga tidak berhak saling waris mewarisi dengan kerabatnya yang muslim serta hartanya merupakan harta fai‘ (rampasan namun bukan karena perang) diserahkan kepada Baitul Mal untuk pengelolaan.

Diantara dalil yang menunjukkan pensyari‘atan hukuman mati bagi orang murtad adalah hadits riwayat Imam al Bukhari, bahwasannya Ali bin Abi Thalib ra pernah menghukum orang zindik dengan cara membakar. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas ra maka ia berkata: “Kalau saja aku pada tempatmu, maka aku tidak membakar mereka karena larangan Nabi: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.” Dan yang aku lakukan adalah membunuh mereka sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad, red) maka bunuhlah ia.” Maksud dari mengganti agama adalah mengganti Islam dengan agama lain, sebab pada dasarnya agama itu hanyalah Islam, sebagaimana firman Allah, artinya: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Ali Imran: 85).

Para sahabat senantiasa memegang teguh hukum ini, seperti tersebut dalam sebuah riwayat ketika Muadz bin Jabal mengunjungi Abu Musa Al Asy‘ari (ketika itu keduanya sama-sama menjadi Amir di Yaman) ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang diikat, maka Muadz bertanya: “Siapakah orang ini?” Abu Musa menjawab: “Ia dulu seorang Yahudi, kemudian masuk Islam namun kini berbalik lagi menjadi Yahudi. Abu Musa melanjutkan: “Silakan duduk!” Muadz lalu menjawab: “Tidak! Aku tidak akan duduk sehingga hukum Allah dan RasulNya ditegakkan untuk orang ini,” (ia mengucapkan ini tiga kali). Maka di putuskanlah perkara orang tersebut dan akhirnya dihukum mati. (Riwayat Al Bukhari).

Dalam Al Bidayah, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa-peritiwa di tahun167 H diantaranya adalah: “Al -Mahdi senantiasa memantau perkembangan para zindik di seluruh penjuru negeri, menghadirkan serta mengadili mereka. Lalu menghukum mati mereka dalam jarak hanya sejengkal dari hadapannya.” Yang tak kalah masyhurnya adalah kisah dihukum matinya Al Hallaj yang mengaku dirinya memiliki sifat ketuhanan serta menyebarkan faham hulul (bersatunya hamba dengan Rabb). Ibnu Katsir menggambarkan bagaimana proses eksekusi terhadap Al Hallaj ini, beliau berkata: “Di datangkan Al Hallaj, lalu dicambuk seribu kali. Setelah itu kedua tangan dan kakinya dipotong dan kepalanya dipenggal. Jasadnya dibakar dan abunya di hanyutkan di sungai Tigris (nama sungai di Irak). Kepalanya ditancapkan di sebuah jembatan kota Baghdad selama dua hari, kemudian dibawa ke Khurasan dan dikelilingkan di seluruh penjuru kota. Riddah model Al Hallaj ini bukan sekadar riddah biasa, namun mengandung pelecehan terhadap Allah dan Rasul-Nya, permusuhan dan penghinaan yang mendalam serta hujatan terhadap agama Allah. Untuk zaman kita ini mungkin bisa kita sebut nama Salman Rushdi yang tak kalah kerasnya dalam memusuhi Islam dan menghina agama Allah (meski mengaku muslim).

Ibnu Taymiyah berkata: “Riddah itu ada dua macam; riddah mujarradah (murni) dan riddah mughalazhah (kelas berat) yang secara khusus disyariatkan hukuman mati. Kedua-duanya memang terdapat dalil yang menjelaskan di haruskannya hukuman mati bagi pelakunya, hanya saja dalil yang menunjukkan gugurnya hukuman mati dengan bertaubat tidak mencakup kedua kelompok tersebut, tapi hanya untuk kelompok yang pertama yaitu riddah mujarradah (murni). Tinggallah kelompok kedua (riddah mughalazhah), dimana telah jelas dalil diwajibkannya hukuman mati bagi pelakunya, serta tidak ada nash maupun ijma‘ yang menunjukkan gugurnya hukuman mati bagi dia. qiyas (penyamarataan) dalam hal ini tidak bisa diterima karena adanya perbedaan yang jelas (antara kedua-nya).”

Beberapa penyebab riddah jahil (bodoh) terhadap agama Allah dan lemah dalam berpegang dengan prisip-prisip akidah yang benar. Terutama sekali ketidak-tahuan terhadap hal-hal yang menjerumuskan ke dalam kekufuran, serta risiko-risiko orang yang murtad baik sewaktu di dunia maupun di akherat. Menyebarnya faham irja‘, bagi mereka (murji‘ah) bahwa riddah hanya terjadi dalam masalah i‘tiqad saja, tidak mencakup perkataan dan perbuatan. sebagaimana keyakianan mereka bahwa iman itu cukup tashdiq (membenarkan) saja. Bagi mereka orang berkata dan berbuat kekufuran tetap dianggap mukmin karena masih ada keyakinan. Ini sangat berbahaya karena bisa jadi menghina dan mengolok-olok terhadap Allah atau sujud kepada berhala tidak dianggap kekufuran.

Terasingnya syari‘at Islam di negara-negara yang banyak berpenduduk muslim. Jika syari‘at Islam diterapkan, maka orang-orang akan amat berat dan malas mengikutinya, karena mereka mau berbuat semaunya, Na‘udzu billahi Min Zaalik. Kekacauan metode berfikir sebagian cendekiawan muslim yang umumnya belajar di negara Barat. maka tak heran dimasa ini banyak pemikir-pemikir yang melontarkan ide aneh seperti Jaringan Islam Liberal dan sejenisnya yang bertentangan dengan prinsip akidah Islam yang lurus. Termasuk faktor yang mendukung terjadinya riddah adalah kurangnya perhatian dari sebagian ulama dan du‘aat terhadap masalah ini, dengan alasan sudah ada pihak yang menangani atau menganggap kurang perlu karena masih ada kegiatan yang lain.

Rasulullah dan para khulafa' telah berjuang meng-Islamkan umat manusia. Mereka benar-benar menjaga aqidah umat yang telah memeluk Deenul haq ini. Penerapan hukum bunuh kepada si murtad telah berhasil menjaga kesucian dan kebenaran agama Allah ini.

Perjuangan merubah pemikiran-pemikiran kufur yang ada pada umat untuk digantikan dengan pemikiran-pemikiran Islam yang berasal dari wahyu, bukan yang datang dari sistem demokrasi-sekular. Hukum bunuh ke atas orang-orang murtad akan kembali diterapkan bilamana Daulah Khilafah memerintah dunia nanti. Wahai kaum Muslimin, kekallah kalian di dalam agama ini dan patuhilah segala perintah Allah. Ingatlah! Haram untuk kita mati di dalam keadaan tidak tunduk patuh kepada Allah dengan sebenar-benarnya.

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim". [TMQ Ali-Imran:102]